artikel, skripsi dan tesis islam

artikel, skripsi dan tesis islam pilihan untuk pencerahan pemikiran keislaman

Rabu, 21 Januari 2009

Lima Belas Bukti Palsu Khilafah Abu Bakar (4)

Lima Belas Bukti Palsu Khilafah Abu Bakar (4)
Ditulis pada Nopember 29, 2008 oleh Ibnu Jakfari

Di antara hadis-hadis palsu itu adalah:

o Hadis Ibnu Umar

وعن إبن عمر رضي الله عنهما قال :” سمعت رسول الله يقول : يكون خلفي إثنا عشر خليفة ، أبو بكر لا يلبث إلا قليلا ” رواه البغوي بسند حسن .

“Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Akan datang setelahku dua belas Khalifah. Abu Bakar tidak akan lama menjabat.’” (HR. al Baghawi dengan sanad hasan)

Adapun riwayat keempat dari Ibnu Umar yang menyebut-nyebut jumlah para Khalifah sepeninggal Nabi saw. adalah dua belas, dan nama Abu Bakar secara khusus disebut dibelakangnya adalah bagian dari riwayat yang menyebut setelahnya nama Umar yang akan terbunuh sebagai syahid dan nama Utsman yang akan dipaksa oleh umat untuk menaggalkan busana kekhalifahan yang Allah kenakan padanya, yang dikatakan Ibnu Abdil Wahhâb sebagai riwayat al Baghawi dengan sanad hasan, maka perlu diketahui bahwa tambahan itu adalah maudhû’ (palsu).

Hadis tersebut adalah dari riwayat al Baihaqi sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam Târîkh-nya,6/206 lengkap denga sanadnya. Dan pada mata rantai sanadnya terdapat nama-nama perawi bermasalah sebagai berikut:

A) Abdullah ibn Shâleh si pembohong besar, al Kadzdzâb.

B) Rabî’ah ibn Saif.

Imam Bukhari berkomentar tentangnya, “Ia banyak memiliki hadis-hadis munkar, manâkîr.”

Adz Dzahabi menyebutkan hadis tersebut dalam kitab al Mîzân-nya dari riwayat Yahya ibn Ma’in lalu berkata, “Saya terheran-haran terhadap sikap Yahya ibn Ma’in, padahal ia orang yang agung dan teliti, bagaimana ia meriwayatkan hadis batil seperti itu lalu mendiamkannya. Dan Rabî’ah adalah pemilik hadis-hadsi munkar dan yang aneh-aneh.”[1]

Jadi, atas dasar apa ia mengatakan bahwa sanad riwayat tersebut sanadnya hasan?

Selain itu telah datang banyak riwayat shahih tanpa menyebut tambahan pada bagain akhir riwayat.

Para ulama Syi’ah Imamiyah berhujjah dengan hadis-hadis tersebut bahwa dua belas Khalifah yang dimaksud adalah para Imam suci dari Ahlulbait Nabi saw., diawali oleh Imam Ali ibn Abi Thalib, Imam hasan dan Imam Husain serta kesembilan dari keturunan Imam Husain yang ditutup dengan Imam al Mahdi; Muhammad ibn Hasan al Askari as., seperti dapat dibuktikan kebenarannya dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sendiri di antaranya adalah:

أنا سيد النبيين و علي سيد الوصيين , و إن اوصيائي يعدي إثنا عشر أولهم علي و آخرهم القائم المهدي.

“Sesungguhnya aku adalah penghulu para nabi dan Ali penghulu para washi.Dan sesungguhnya para washiku sepeninggalku ada dua belas yang pertama adalah Ali dan yang terakhir adalah al Qaim al Mahdi.”[2]

Sementara itu, selain Syi’ah hingga sekarang masih belum menemukan kata sepakat siapa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah itu!

*
Dua Belas Khalifah!

Pada mathlab tentang dibatasinya Khilafah hanya pada dua belas orang, Syeikh Ibnu Abdul Wahhâb menuliskan ketarangan sebagai berikut:

ومنها دعواهم إنحصار الخلافة في إثني عشر فإنهم كلهم بالنص والابصار عمن قبله وهذه دعوى بلا دليل مشتملة على كذب فبطلانها أظهر من أن يبين ويتوسلون بها إلى بطلان خلافة من سواهم ، في ذلك تكذيب لنصوص واردة في خلافة الخلفاء الراشدين وخلافة قريش .

“Di antara kesesatan Syi’ah adalah klaim mereka bahwa Khilafah hanya terbatas pada dua belas Khalifah, dan mereka semuanya ditetapkan berdasarkan nash/ penunjukan dari Khalifah sebelumnya. Ini adalah klaim tanpa dalil, lagi memuat kebohongan. Kebatilannya lebih terang untuk harus diterangkan. Dengannya mereka mencari bantuan untuk membatalkan Khilafah selain dua belas Khalifah (Imam) mereka. Pada yang demikian terdapat pengingkaran terhadap nash-nash yang datang tentang khilafah para Khulafâ’ yang Rasyidin dan Khilafah Quraisy.”

Ibnu Jakfari berkata:

Adapun tuduhannya bahwa klaim Syi’ah tanpa dalil, maka itu hanya sekedar klaim batil tanpa dalil, seperti akan kami buktikan bahwa klaim Syi’ah justru sesuai dengan dalil! Selain itu, saya tidak mengerti mengapa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb tidak mau membebani dirinya untuk membuktikan kepalsuan klaim Syi’ah dan hanya mencukupkan diri dengan mengatakan bahwa “kebatilannya lebih terang untuk harus diterangkan” bukankah sikap pasif itu membuktikan ketidak-mampuannya mematahkan argumentasi-argumentasi pandangan Syi’ah yang didukung oleh dalil-dalil shahih dan kuat?!

*
Sabda Nabi saw. Bahwa Jumlah Khalifah Sepanjang Usia Umat Islam adalah dua Belas!

Banyak sekali hadis yang telah diriwayatkan dan dishahihkan para muhaddis dan ulama Ahlusunnah, di antaranya adalah para penulis Shihâh, Musnad, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, Imam Ahmad, al Hakim dkk. bahwa jumlah pemimpin/Khalifah adalah dua belas, tidak lebih tidak kurang, semuanya dari suku Quraisy. Tidak ada perbedaan kecuali dalam redaksi: Khalifah atau Amîr atau Rajul atau Qayyim.

Di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya:

o Hadis Bukhari:

Dari Jabir ibn Samurah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

يكونُ اثْنا عشرَ أميرًا

“Akan ada dua belas Amir.”

Lalu beliau mengucapkan sebuah kalimat yang aku tidak mendengarnya, lalu ayahku berkata, “Nabi saw. bersabda:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy. ”[3]

o Hadis Mulsim:

Imam Muslim meriwayatkan beberapa riwayat tentangnya, di antara dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda:

لا يزالُ الدينُ عزيزا مَنِيْعًا إلى اثني عشر خليفةً

“Agama ini senantiasa akan jaya dan terpelihara hingga berlalu dua belas Khalifah.”

Lalu beliau menyampaikan sebuah kata yang aku dibuat tuli (tidak mendengarnya) oleh orang-orang! Aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau sabdakan?” Ia menjawab:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy.”[4]

Jabir ibn Sarumah, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:

لا يزالُ الإسْلاَمُ عزيزاً إلى إثْنَيْ عشر خليفَةً.

“Agama Islam senantiasa akan berjaya hingga berlalu dua belas Khalifah.”

Kemudian beliau berkata sebuah kata yang tidak kufahami, lalu aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau sabdakan?” Ia menjawab, “B eliau bersabda:

كُلُّهُمْ مِنْ قُريش.

“Semuanya dari suku Quraisy!.”

Hadis-hadis serupa juga telah diriwayatkan oleh Imam at Turmudzi dalam Sunan-nya, Abu Daud dalam Sunan-nya, al Hakim dalam al Musdatrak-nya, ath Thabarâni dalam al Mu’jam al Awsath-nya dkk.

Sebagian ulama di luar mazhab Syi’ah merasa kebingungan memaknai hadis-hadis di atas, sehingga pada akhirnya tidak sedikit yang memaksa diri menyebutkan tafsir dan pemaknaan yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana sebagian lainnya menyerah dan mengaku tidak memahami apa sebenarnya maksud sabda Nabi saw. tersebut.

Ibnu al Jawzi –salah seorang alim yang tidak jarang dibanggakan kaum Wahhâbi- bertaka, “Aku telah lama merenungkan dan meneliti maksud hadis ini dan mencari tau tentangnya diberbagai tempat yang mungkin memberikan jawabannya, akan tetapi aku tidak mendapatkan kejelasan maksud dari hadis itu.”[5]

Adapun Ibnu Taimiyyah –panutan utama pendiri sekte Wahhabi- dengan tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya bukanlah dua belas Imam dari Ahlulbait as. yang diyakini Syi’ah! Dan salahlah sebagian orang Ahli Kitab (Yahudi) yang menganggap bahwa dua belas Khalifah itu adalah para imam Syi’ah. Ibnu Katisr menukil pendappat gurunya; Ibnu Taimiyah sebagai berkata, “Guru, Syeikh kami Allamah Abu al Abbas ibn Taimiyyah berkata, ‘Mereka yang dikabar-gembirakan dalam hadis Jabir ibn Samurah dan ditetapkan bahwa mereka akan berpencar di antara umat (Islam), dan kiamat tidak akan terjadi sehingga kedua belas itu ada. Dan salahlah banyak orang yang berkohormatan memeluk Islam dari kaum Yahudi maka mereka menganggap behwa mereka itu (dua belas Khalifah/Amir) itu adalah para imam yang dianjurkan kaum Rafidhah, lalu mereka (orang-orangYahudi) itu mengikutinya.”[6]

Jika demikian, lalu siapakah dua Khalifah yang dikabar-gemnbirana Allah dan Rasul-Nya akan membawa kejayaan Islam menurut Ibnu Taimiyyah? Di sini Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa mereka itu adalah: 1) Abu Bakar, 2) Umar, 3) Utsman, 4) Ali. Kemudian berkuasalah pemimpin yang disepakati umat Islam dan ia mendapat kejayaan dan kekuatan, yaitu, 5) Mu’awiyah, 6) Yazid putra Mu’awiyah, 7) Abdul Malik ibn Marwan, dan keempat pelanjutnya dari keturunannya, di antara adalah Umar ibn Abdul Aziz. Setelah itu terjadilah di negri Islam apa yang terjadi hingga sekarang.

Sesunggunya bani Umayyah telah berkuasa di seantero penjuru dunia Islam. Kekuasaan di masa mereka berjaya. … Mereka itulah dua belas Khalifah yang telah disebutkan dalam Taurat ketika mengabar-gembirakan kepada Ismail bahwa akan lahir dari keturunannya dua belas pemimpin.”[7]

Kabar gembira yang ia maksudkan adalah apa yang tertera dalam kitab Perjanjian Lama, Kejadian:17;20. Allah berfirman: “Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar.”

Jadi dalam pandangan Ibnu Taimiyyah –Salaf dan rujukan utama kaum Wahhabi- Mu’awiyah dan putranya Yazid, Abdul Malik ibn Marwan –si jagal yang haus darah-, Sulaiman ibn Abdil Malik dkk adalah termasuk pribadi-pribadi agung yang telah dikabar-gembirakan Allah kepada Nabi Ismail dan kemudian juga dikabar-gembirakan dan dibanggakan oleh Rasulullah saw… dalam banyak sabdanya.

Mungkinkah Allah memberkati Yazid yang dengan kejam dan penuh nafsu setan membantai mkeluarga suci Rasulullah saw. di padang Karbala?! Akal sehat siapam yang eken menerima omongan bahwa Allah telah memberkati Mu’awiyah yang dengan tanpa iman memerangi Khalifah yang sah; Ali ibn Abi Thalib as. dan membunuh dengan darah dingi para sahabat Nabi saw. serta sebagai Penganjur kepada api nereka, seperti disabdakan Nabi saw. sendiri?!

Dan apakah …?! Dan apakah….?!

[1] Mîzân al I’tidâl,2/48.

[2]Yanâbi’ al Mawaddah :Bab :77 :3\105

[3] Shahih Bukhri, Kitabul Ahkâm, Bab al Istikhlâf,8/127.

[4] Shahih Muslim, 6/3.

[5] Fath al Bâri; Ibnu Hajar al ‘Asqallâni,13/181.

[6] Al Bidayah wa an Nihayah,6/250.

[7] Minhaj as Sunnah, 8/238.

Label:

Wahhabi Menggugat Syi’ah (17)

Wahhabi Menggugat Syi’ah (17)
Ditulis pada Nopember 28, 2008 oleh Ibnu Jakfari

Kenaifan Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, rujukan utama dan kebanggaan kaum Wahhabi menolak hadis turunnya ayat tersebut pada peristiwa Ghadir Khum dengan tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti ilmiah… ia membantahnya hanya dengan bermodalkan retorika kosong dan kata-kata tak jelas arah dan tujuan.

Allamah al Hilli (rahmatullah ‘Alaihi/semoga rahmat Allah menyelimutinya) berdalil dengan ayat al Ikmâl. Beliau berkata:

Bukti ketiga adalah firmah Allah –Ta’ala-:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاِسلام ديناً.

Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Sa’id al Khudri, bahwa sesungguhnya Nabi saw. mengajak manusia ke Ghadir Khum …..

Lalu Ibnu Taimiyah membantahnya dengan mengulang-ulang apa yang ia katakan ketika membantah turunnya ayat sebelumnya (ayat al Balâgh), ia berkata:

إنّ مجرّد عزوه إلى رواية أبي نعيم لا تفيد الصحّة!

وإنّ هذا الحديث من الكذب الموضوع باتّفاق أهل المعرفة بالموضوعات!
وهذا لا يعرفه أهل العلم بالحديث، والمرجع إليهم في ذلك.

وإنّ هذه الآية ليس فيها دلالة على عليٍّ ولا إمامته بوجهٍ من الوجوه، بل فيها إخبار الله بإكمال الدين وإتمام النعمة على المؤمنين، ورضا الاِسلام ديناً.

فدعوى المدّعي أنّ القرآن يدلّ على إمامته من هذا الوجه كذب ظاهر.

”Sesungguhnya dengan sekedar menyandarkan hadis kepada Abu Nu’aim tidak memberi faedah keshahihan hadis tersebut!

Hadis itu adalah kebohongan lagi palsu berdasarkan kesepakatan para pakar yang mengetahui hadis-hadis palsu!

Hadis itu tidak dikenal oleh para ulama Ahli Hadis yang menjadi rujukan dalam masalah itu.

Ayat tersebut tidak terdapat di dalamnya petunjuk tentang imamah Ali sama sekali. Di dalamnya hanya ada pemberitaan Allah disempurnakannya agama dan dilengkapinya nikmat atas kaum Mukminin, serta kerelaan Islam sebagai agama.

Dan klaim orang yang mengaku bahwa Al Qur’an menunjukkan imamah Ali dari sisi ini adalah kepalsuan nyata.”

Ia juga berkata:

وإن قال: الحديث يدلّ على ذلك.

فيقال: الحديث إنْ كان صحيحاً فتكون الحجّة من الحديث لا من الآية، وإن لم يكن صحيحاً فلا حجّة في هذا ولا في هذا، فعلى التقديرين لا دلالة في الآية على ذلك… .

“Jika ada yang berkata, “Hadis telah menunjukkan hal itu.”

Maka akan dijawab bahwa hadis itu jika ia shahih, maka sebenarnya yang menjadi hujjah (dalam masalah ini) adalah hadis bukan ayat (tersebut). Dan jika ia tidak shahih, maka sama sekali tidak ada hujjah, tidak pada hadis itu sendiri tidak juga pada ayat tersebut. Maka dengan demikian, sama sekali tidak ada petunjuk untuk hal itu … “[1]

Ibnu Jakfari berkata:

Sebenarnya Allamah al Hilli berdalil dengan ayat tersebut yang telah ditafsirkan berdasarkan hadis. Jadi ia berdalil dengan ayat bukan dengan hadis! Sementara itu hadis yang sedang menafsirkan ayat tersebut adalah shahih, bukan mawdhû’ (palsu) seperti yang diaku Ibnu Taimiyah. Bukti-bukti keshahihannya telah saya paparkan sebelumnya. Dan apa yang dikatakannya tidak lebih dari sekedar fanatisme buta dan tidak bertanggung jawab! Para ulama telah menshahihkannya… para perawinya-pun telah memenuhi kualitas parawi hadis shahih! Jadi siapakah Ahli Hadis dan Pakar Peneliti yang ia maksud?! Mengapakah tidak satupun dari mereka itu ia sebutkan namanya dan atau keterangannya?!

Kebohongan seperti itu sudah sering kami dengar/baca dari Ibnu Taimiyah dan koleganya! Semoga kita dijauhkan dari kebutaan dalam agama. Amiîn.

[1] Minhâj as Sunnah,7/52-55.

Label:

Lima Belas Bukti Palsu Khilafah Abu Bakar (2)

Lima Belas Bukti Palsu Khilafah Abu Bakar (2)
Ditulis pada Nopember 28, 2008 oleh Ibnu Jakfari

Menyoroti Hadis-hadis Khilafah Abu Bakar

Ibnu Abdil Wahhâb menyebutkan sekitar lima belas hadis/dalil yang ia akhiri dengan kata-kata kecaman dan luapan emosi terpendam, tanpa menghiraukan konsekuensi berbahaya dari vonis yang ia lontarkan. Ia berkata, ”Dan hadis-hadis ini dan yang semisalnya akan membuat hitam gelegam wajah-wajah kaum Rafidhah dan kaum fasiq yang mengingkari kekhalifahan Abu Bakar ash Shiddîq ra.”

Untuk menyingkat waktu pembaca langsung saja kita ikuti satu persatu hadis yang ia sebutkan:

(1) Hadis Ali as.

عن علي رضي الله عنه قال: دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلنا : يا رسول الله استخلف علينا . قال : إن يعلم الله فيكم خيراً يول عليكم خيركم . فقال علي رضي الله عنه : فعلم الله فينا خيراً فولّى علينا خيرنا أبا بكر رضي الله عنه . رواه الدار قطني .

“Dari Ali ra. ia berkata, “Kami masuk menemui Rasulullah saw. lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjuklah seorang pengganti (Khalifah) yang memimpin kami.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika Allah mengetahui pada kalian ada kebaikan pastilah Allah mengangkat seorang yang terbaik untuk memimpin kalian.’ Maka Ali ra. berkata, ‘Allah mengetahui bahwa pada kami ada kebaikan maka Allah mengangkat orang terbaik kami yaitu Abu Bakar ra. untuk memimpin kami.’” (HR. ad Dâruquthni)

وهذا أقوى حجة على من يدّعي موالاة علي رضي الله عنه،

“Dan ini adalah paling kuatnya hujjah melawan orang yang mengaku mengikuti Ali.”

Ibnu Jakfari berkata:

Ini adalah hadis pertama dari dalil-dalil tekstual -sperti yang akan saya sebutkan satu persat- yang dibanggakan Ibnu Abdil Wahhâb –Pendiri Sekte Wahhâbi- dalam menegakkan legalitas kekhilafahan Abu Bakar. Dan dengan sedikit bermodal kesabaran dan sedikit ketelitian saja, serta tidak harus menjadi seorang “Pakar Hadis” Anda pasti dapat membuktikan betapa palsu hadis-hadis di atas yang diatas-namakan Rasulullah saw.

Hadis-hadis yang ia banggakan sebagai bukti kuat dan membungkam mulut-mulut lawan itu ternyata saling kontradiksi antara satu dengan lainnya, selain realita sejarah dan perjalanan peristiwa-peristiwa membuktikan kebohongannya, serta tanda-tanda kepalsuannya begitu kentara! Disamping tentunya bertolak-belakang dengan dogma Wahhabi sendiri!

Agar Anda tidak menuduh saya mengada-ngada dalam menvonis palsu atas hadis-hadis di atas, mari kita teliti satu persatu hadis-hadis tersebut!

Namun sebelumnya ada satu hal yang patut diutarakan dan harus senantiasa diingat dan diindahkan dalam mendiskusikan masalah-masalah yang diperselisihkan antara Syi’ah dan kelompok-kelompok lain di luar Syi’ah, khususnya kaum Wahhabi yang akhir-akhir ini getol membawa Panji Permusuhan dan Pengafiran terhadap kaum Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâ Asyariyyah! Yaitu tentang “aturan main” dan etika berdialoq!

Sepertinya masalah yang satu kurang dimengerti atau memang sengaja tidak mau dimengerti, atau sengaja diabaikan dan tidak “digubris” oleh sebagian besar mereka yang gemar menghujat dan menggugat Syi’ah dan ajarannya. Yaitu mengenai kesepakatan akan argument yang boleh dijadikan pijakan dalam berdiskusi! Tentunya dalil yang berhak masuk ke dalam rana diskusi adalah dalil yang telah disepakati terlebih dahulu kehujjahannya oleh kedua belah pihak yang akan berdiskusi! Bukan hanya dalil yang dipercaya oleh satu pihak saja, sementara pihak lainnya tidak mengakuinya!

Di sini, dalam kesempatan ini Anda berhak terheran-heran ketika menyaksikan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam gugatan dan hujatannya atas kaum Syi’ah yang tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan dalam upaya ngototnya (namun sayang sia-sia) dalam menegakkan keabsahan Khilafah Abu Bakar … dalam semua itu ternyata Imam Sekte Wahhâbi ini hanya berdalil dengan dalil-dalil yang hanya berlaku di kalangan kelompoknya… legalitasnya tidak pernah disepakati oleh Syi’ah! bahkan rata-rata hadis andalannya itu ternyata telah divonis lemah, munkar, lâ yashihhu/tidak shahih, lâ ashla lahu/tidak punya asal muassal, bahkan tidak jarang yang maudhû’/palsu. Ia hanya pandai mencecer hadis-hadis dan kemudian memaksa Syi’ah untuk menerima konsekuaensi darinya, sementara itu hadis-hadis itu hanya ada dalam kitab-kitab selain Syi’ah dan Syi’ah sama sekali tidak pernah mengakuinya tidak juga kebanyak pakar ahli hadis Ahlusunnah!

Tentunya etika seperti itu sangat jauh dari inshâf, jauh dari obyektifitas diskusi! Semestinya Imam kaum Wahhabi itu mampu membongkar akar akidah Syi’ah melalui riwayat-riwayat Syi’ah sendiri dan menegakkan pondasi Kekhalifahan Abu Bakar di atas dalil-dalil dan hadis-hadis yang diakui Syi’ah karena, misalnya ia termaktub dalam kitab standar andalan mereka! Seperti yang selama ini dilakukan ulama Syi’ah!

Sebab jika etika berdialoq ini tidak ia indahkan, maka apakah ia siap dan sudi menerima dalil-dalil dari kitab-kitab Syi’ah yang diajukan ulama mereka untuk menegakkan pondasi akidah mereka tentang Imamah Ali dan Ahlulbait as.

Apakah jika ulama Syi’ah mengatakan bahwa keyakinan kami tentang Imamah adalah bahwa Nabi telah menunjuk Ali dan Ahlulbait as. sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi saw. dan siapapun yang menyerobot Ali as. berarti Khilafahnya tidak sah! Semua itu berdasarkan hadis-hadis yang telah diriwayatkan para ulama kami dalam kitab-kitab mereka! Apakah jika hal itu dilakukan ulama Syi’ah, Ibnu Abdil Wahhâb akan menerimanya? Atau justru ia akan mengatakan bahwa, itu adalah hadis-hadis ulama kamu! Kami tidak akan menerimanya! Datangkan hadis-hadis dari riwayat kami, agar kami mau menerimanya! Bukankah demikian sikap yang akan ia tampilkan?! Lalu sekarang mengapakah kaum Syi’ah harus dipaksa menerima hadis-hadis yang hanya diriwayatkan melalui jalur-jalur selain Syi’ah yang kandungannya bertentangan dengan keyaknan dan akidah Syi’ah?!

Jadi semestinya, jika Ibnu Abdil Wahhâb bernafsu untuk menegakkan bukti-bukti kekhilafahan Abu Bakar, ia harus membutkikan dari riwayat-riwayat Syi’ah! sebab dengan demikian ia berhak memaksa kaum Syi’ah untuk menerimanya secara konsekuen hadis-hadis yang ternyata telah diriwayatkan dan dishahihkan para ulama mereka sendiri. Sebagaimana apabila kaum Syi’ah hendak bermaksud menegakkan bukti-bukti imamah Ali dan Ahlulbait as. dan atau membuktikan ketidak-sahan khilafah selain Ali as. maka hendaknya mereka membuktikannya dari riwayat-riwayat ulama kelompok yang menjadi lawan dialoq mereka!

Tetapi sekali lagi saya katakan sangat disayangkan ternyata Ibnu Abdil Wahhâb, seperti juga kebanyakan ulama lainnya yang menghujat dan mengguat Syi’ah tidak pernah mengindahkan etika positif ini…. Mereka hanya mau menang sendiri… maka akibatnya hanya kerancaun dan hilangnya panji-panji kebanaran di tengah-tengah huruk-pikuk kegaduhan!

Dan perlu saya sampaikan juga bahwa sejatinya tidak ada kuwajiban atas saya untuk menanggapi dalil-dalil (hadis-hadis) yang ia ajukan sebab ia riwayat selain Syi’ah yang tidak ada hak baginya untuk memaksa kaum Syi’ah agar menerimanya dan meninggalkan keyakinan yang telah mereka tegakkan di atas dasar hadis-hadis Ahlulbait as. yang telah mereka riwayatkan dengan sanad yang shahih. Kalaupun saya menanggapinya sekarang ini, itu murni karena kebaikan sikap saya yang masih mau meluangkan waktu untuknya! Sama sekali tidak ada kewajiban atas saya, baik wajib aqli maupun wajib akhlaqi!

Setelah ini semua marilah kita kembali meneliti hadis-hadis di atas.

Ahlusunnah Sepakat Tidak Ada Nash Penujukan Dari Nabi saw!

Hal mendasar yang akan membubarkan angan-angan Imam Wahhabi kali ini ialah bahwa termasuk hal yang telah disepakati para pembesar ulama Ahlusunnah adalah bahwa Nabi saw. tidak pernah menujuk siapa Khalifah sepeninggal beliau saw. Ketarangan al Îji sebelumnya telah menegaskan hal itu!

Ada sebuah stitmen penting dan mendasar yang disampaikan Umar –selaku Khalifah kedua- ketika ia diminta para sahabat untuk menunjuk seorang Khalifah yang akan mengantikan posisinya setalah mati nanti, maka ia berkata, ”Jika aku tidak menunjuk seorang pengganti maka ketahuilah bahwa Rasulullah juga tidak menunjuk seorang pengganti dan jika aku menunjuk maka Abu Bakar telah menunjuk.”[1]

Dan di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, ketika ada yang mengatakan kepaanya, “Jangan Anda biarkan umat Muhammad tanpa pengembala, tunjuklah seorang pemimpin!” Umar ibn al Khaththâb menjawab, “Jika aku membiarkan maka ketahuilah bahwa orang yang lebih baik dariku (Rasulullah saw. maksudnya) telah membiarkan dan jika aku menunjuk seorang pengganti maka sesungguhnya seorang yang juga lebih baik dariku (Abu Bakar maksudnya) telah menunjuk.”[2]

Selain bukti di atas, Anda dapat menemukan bagaimana Abu Bakar -selaku Khalifah pertama- juga berandai-andai jika ia dahulu bertanya kepada Rasulullah saw. siapa yang berhak atas jabatan kekhalifahan ini dan apakah kaum Anshar memiliki hak untuk menjabat atau tidak. Abu Bakar berkata, “Saya ingin andai dahulu aku bertanya kepada Rasulullah untuk siapa perkara (khilafah) ini sehingga ia tidak direbut oleh seorangpun yang bukan ahlinya? Aku ingin andai aku bertanya, apakah orang-orang Anshar mempunyai hak dalam perkara ini?.”[3]

Umar juga menyesal karena tidak sempat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang tiga perkara, yang andai ia mengetahuinya pasti itu lebih ia sukai dari onta berwarna kemerah-merahan atau seperti dalam redaksi lebih ia sukai dari dunia dan seisinya, yaitu siapa Khilafah sepeninggal beliau, tentang hukum waris Kalalah dan hukum riba’.[4]

Semua itu adalah bukti konkrit bahwa baik Abu Bakar maupun Umar tidak pernah mengetahui barang satu huruf pun dari nash-nash penunjukan tersebut. Terlebih lagi jika Anda memperhatikan argumentasi yang diajukan Abu Bakar dan Umar dalam rapat Saqifah… . Sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya nash/penunjukan itu!

Adapun riwayat-riwayat yang dibanggakan Ibnu Abdil Wahhâb maka perlu diketahui di sini bahwa para pembesar ulama Ahlusunnah telah menegaskankan kebatilan sebagian besar darinya!

o Riwayat Pertama:

Adapun riwayat pertama maka ia tertolak dengan alasan di bawah ini:

1) Imam Ali as. tidak memberikan baiat selama enam bulan

Berdasarkan riwayat-riwayat shahih yang telah saya sebutkan sebelumnya dari riwayat Imam bukhari, Muslim dan para pembesar ahli hadis lainnya yang mengatakan bahwa Imam Ali as. tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan, sebab beliau menganggap Abu Bakar bersikap semena-mena dalam hal ini. Jika benar Imam Ali as. telah mendengar Nabi saw. bersabda demikian pastilah beliau orang pertama yang akan bergegas membaiat Abu Bakar dan tidak akan membiarkan Fatimah istrinya menentang Abu Bakar dan menolak memberikan baiat!

2) Abu Bakar mengaku ia bukan orang yang paling baik

Sumber-sumber terpercaya Ahlusunnah menukil bahwa segera setelah diangkat sebagai Khalifah, Abu Bakar berpidato dan berkata, “Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin atas kalian sementara aku ini bukan orang terbaik kalian.”[5]

Dan ini adalah bukti nyata bahwa Abu Bakar tidak menilai dirinya memiliki keunggulan di atas lainnya seperti yang ramai-ramai diklaim oleh pengikutnya.

3) Umar menuduh baiat Abu Bakar adalah faltah

Dalam sebuah kesempatan, Umar menyatakan di hadapan khalayak ramai ketika berpidato bahwa pembaiatan atas Abu Bakar itu terjadi secara faltah, tergerah-gesah, akan tetapi menyelamatkan umat dari dampak buruknya.

[1] Baca Shahih Bukhari,9/100, pada Kitabu al Ahkâm, Bab al Istikhlâf dan Shahih Muslim, 3/1454 bab al Istikhlâf wa tarkihi, Hilyah al Auliyâ’,1\44, as Sunan al Kubrâ, 8\149 dll.

[2] Murûj adz Dzahab; as Mas’udi,:2\253. Dâr al Fikr.

[3] Tarikh ath Thabari:4\53dan al Iqd al Farîd,2\254.

[4] Musnad Imam Ahmad,1/35, Tafsir al Qurthubi,6/30, Al Bidayah wa an Nihayah,3/247 dan Sunan al Baihaqi,8/149. Hadis serupa juga dapat Anda jumpai dalam tafsir Ibnu Katsir,1/595 dari riwayat al hakim dengan sanad shahih bertdasarkan syarat Bukhari&Muslim.

[5] Al Kâmil fi at Târîkh,2/232, Târîkh ath Thabari,3/210 dan at Tamhîd:487.

Label: ,

Wahhabi Menggugat Syi’ah (16)

Wahhabi Menggugat Syi’ah (16)
Ditulis pada Nopember 28, 2008 oleh Ibnu Jakfari

o Riwayat Ibnu ‘Asâkir ad Dimasyqi

Ibnu ‘Asâkir telah meriwayatkan hadis tentang turunnya ayat al Ikmâl berkaitan dengan pengangkatan Imam Ali di Ghadir Khum dari berbagai jalur. Ia meriwayatkan dari jalur al Khathîb, seperti yang telah lewat saya sebutkan dari Tarikh Baghdad-nya, kemudian setelahnya ia berkata:

أخبرناه عالياً أبو بكر ابن المزرفي، أنبأنا أبو الحسين ابن المهتدي، أنبأنا عمر بن أحمد، أنبأنا أحمـد بن عبـدالله بن أحمد، أنبأنا عليّ بن سعيد الرقّي، أنبأنا ضمرة، عن ابن شوذب، عن مطر الورّاق، عن شهر بن حوشب، عن أبي هريرة… .

Abu Bakar ibn al Marzûqi mengabarkan kepada kami secara ‘aliyan,[1]ia berkata, Abul Hasan ibn al Muhtadi mengabarkan kepada kami, ia berkata, Umar ibn Ahmad mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad mengabarkan kepada kami, ia berkata Ali ibn Sa’id mengabarkan kepada kami, ia berkata Dhamrah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syaudzab dari Mathar al Warrâq dari Syahru ibn Hausyab dari Abu Hurairah…. .

Ia juga berkata:

وأخبرناه أبو القاسم ابن السمرقندي، أنبأنا أبو الحسين ابن النقور، أنبأنا محمّـد بن عبـدالله بن الحـسين الـدقّاق، أنبأنا أحمـد بـن عبـدالله بن أحمد بن العبّـاس بن سالم بن مهران المعروف بابن النيري… .

Dan Abul Qâsim as Samarqandi mengabarkan kepada kami, ia berkata Abul Hasan ibn Naqûr mengabarkan kepada kami, ia berkata, Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ad Daqqâq mengabarkan kepada kami, ia berkata, Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Abbas ibn Sâlim ibn Mahran yang dikenal dengan nama Ibnu an Niari… .[2]



o Sekilas Tentang Jalur Ibnu ‘Asâkir

Pada jalur Ibnu ‘Asâkir di atas terdapat beberapa nama parawi yang perlu Anda ketahui, seperti:

(1) Abu Bakar ibn al Marzûqi (w.527 H)

Ibnu al Jauzi berkata:

سمعت منه الحديث، وكان ثقة ثبتاً عالماً، حسن العقيدة.

“Aku mendengar hadis darinya, ia seorang yang tsiqah, tsabtun/kokoh lagi alim, akidahnya bagus.”[3]

Adz Dzahabi berkata:

كان ثقة متقنا.

“Ia seorang yang tsiqah lagi mutqin/rapi dalam periwayatan.”[4]



(2) Abul Hasan ibn al Muhtadi (w.465 H)

Tentangnya, Al Khathîb berkata:

كان ثقة نبيلاً.

“Ia seorang yang tsiqah lagi mulia.”

As Sam’âni berkata:

كان ثقة حجّة، نبيلاً، مكثراً.

“Ia seorang yang tsiqah, Hujjajh, mulia dan banyak meriwayatkan hadis.”

Ibnu Nursi berkata:

كان ثقة يقرأ للناس.

“Ia seorang yangt tsiqah, membacakan Al Qur’an untuk orang-orang (mengajar Al Qur’an).”

Adz Dzahabi berkata:

الاِمام العالم الخطيب، المحدّث، الحجّة، مسند العراق، أبو الحسين محمّـد بن عليّ بن محمّـد… سيّد بني هاشم في عصره… .

“Ia seorang Imam yang alim, orator ulung, muhaddis, hujjah, Musnidnya penduduk Irak, Abul Hasan Muhammad ibn Ali ibn Muhammad… penghulu bani Hasyim di masanya.”[5]



(3) Umar ibn Ahmad yang dikenal dengan nama Ibnu Syâhîn (w.385 H)

Al Khathîb berkata tentangnya:

كان ثقة أميناً.

“Ia tsiqah lagi terpercaya.”

Ibnu Makûla berkata:

هو الثقة الاَمين.

“Ia adalah tsiqah lagi amanat.”

Hamzah as Sahmi menukil ad Dâruquthni sebagai mengatakan:

هو ثقة.

“Ia tsiqah.”

Abu al Walîd al Bâji berkata:

هو ثقة.

“Ia tsiqah.”

Al Azhari berkata:

كان ثقة.

“Ia adalah tsiqah.”

Adz Dzahabi berkata:

ابن شاهين الشيخ الصدوق، الحافظ، العالم، شيخ العراق، وصاحب التفسير الكبير، أبو حفص عمر بن أحمد… .

“Ibnu Syahîn adalah Syeikh yang shadûq/jujur, hafidz, alim, guru besar penduduk Irak, penulis kitab Tafsir yang besar; Abu Hafsh Umar ibn Ahmad….”[6]



(4) Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad.

Ia adalah Ibnu an Nairi yang telah lewat kami sebeutkan. Adapun parawi lainnya dalam sanad ini akan kami bicarakan nanti.



Jalur Kedua:

Sedangkan pada jalur kedua ada beberapa nama yang perlu kita telaah, seperti:

(1) Abul Qâsim as Smarqandi (w.536 H)

Ibnu ‘Asâkir berkata:

كان ثقة مكثراً.

“Ia adalah tsiqah lagi banyak meriwayatkan.”

As Salafi berkata:

هو ثقة.

“Ia tsiqah.”

Adz Dzahabi berkata:

الشيخ الاِمام، المحدّث، المفيد، المسند، أبو القاسم إسماعيل بن أحمد… .

“Ia adalah Syeikh (guru besar) Imam, Muhaddits, Mufîd, Musnid; Abul Qâsim Ismail ibn Ahmad… .”[7]



(2) Abul Husain ibn an Naqûr (w.470 H)

Al Khathîb berkata:

كان صدوقا.

“Ia jujur.”

Ibnu Khairân berkata:

ثقة.

“Ia tsiqah.”

Adz Dzahabi berkata:

ابن النقور، الشيخ الجليل الصدوق، مسند العراق، أبو الحسين أحمد بن محمّـد بن أحمد بن عبـدالله بن النقور البغدادي البزّاز… .

“Ibnu an Naqûr adalah seorang Syeikh yang agung lagi jujur/shadûq, Musnid penduduk Irak; Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah ibn an Naqûr al Baghdadi al Bazzâr…. .”[8]



(3) Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ad Daqqâq. Yaitu anak saudara Mîni yang telah lewat dibicarakan.

(4) Ahmad ibn Abdullah …. Ibnu an Nairi. Teleh lewah dibicarakan.

Sementara itu, para perawi lainnya akan dibicarakan nanti.

[1] Maksudnya dengan sanad yang pendek/sedikit perantaraannya, dan yang demikian itu makin menambah kualitas sanad dibanding jika mata rantai perawi dalam sanad itu panjang. Demikian dijelaskan para ulama.

[2] Tarikh Damasqus, ketika menyebut diodata Imam Ali as.,2, hadis dengan nomer 575-578 dan585.

[3] Al Muntadzim,17/281.

[4] Siyar A’lâm,19/631.

[5] Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,18/241.

[6] Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,168/431.

[7] Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,20/28.

[8]Semua komentar di atas diambil dari Siyar A’lâm,18/372.

Label:

Hadis Memandang Wajah Ali adalah Ibadah Shahih!

Hadis Memandang Wajah Ali adalah Ibadah Shahih!
Ditulis pada Nopember 25, 2008 oleh Ibnu Jakfari
Hadis Memandang Wajah Ali adalah Ibadah Shahih!
(TULISAN INI ADALAH TANGGAPAN ATAS ARTIKEL: Kedudukan Hadits “Memandang Ali adalah Ibadah” Ditulis pada Nopember 5, 2008 oleh haulasyiah
Pendahuluan:
Banyak upaya dilakukan oleh mereka yang bersembunyi di balik slogan “Memurnikan Sunnah dari Kepalsuan” untuk melakukan penolakan terhadap hadis-hadis shahih keutamaan keluarga suci Nabi saw. utamanya Imam Ali ibn Abi Thalib as.
Tidak jarang ketidak jujuran dijadikan modal utama, menipulasi data sebagai sajian andalannya.
Meneliti kualitas sebuah hadis dan kemudian menetukan status atasnya bukanlah sebuah usaha sederhana yang dapat dilakukan dengan asal-asalan dan tanpa kerja keras menelusuri jalur-jalurnya dan meneliti setiap periwayat pada masing-masing jalur….
Sebagaimana menetukan sikap dalam menilai kualitas seorang periwayat yang merupakan dasar yang di atasnya akan ditegakkan penilaian terhadap status dan kualitas sebuah hadis/riwayat bukanlah kerja mudah, sebab kita harus melibatkan dengan seksama dan penuh keseriusan serta juga ketulusan setiap keterangan dan penilaian yang diberikan para ulama Ahli Jarh dan Ta’dil terhadap seorang periwayat tersebut! Dan juga harus mamastikan bahwa keterangan yang diberikan itu murni demi ilmu pengetahuan dan kebenaran agama semata, bukan dipengaruhi oleh faktor-faktor kotor yang tidak bertanggung jawab!
Inilah yang harus selalu kita indahkan dalam menilai status sebuah hadis/riwayat!
Meneliti satu atau dua jalur saja belum cukup untuk membenarkan kita menvonis lemah apalagi palsu sebuah hadis/riwayat! Setelah meneliti satu atau dua jalur, jika ternyata ditemukan cacat padanya, kita hanya dibenarkan menvonis bahwa hadis ini atau itu dari jalur ini adalah lemah. Atau jika kelemahan itu sangat parah, kita dibenarkan menvonis jalur itu sebagai palsu. Akan tetepi tidak berarti hadis itu (yang memiliki banyak jalur tentunya) harus divonis palsu, maudhû’!.
Inilah kesalahan sebagian kalangan peneliti hadis ketika menvonis hadis ini atau itu sebagai lemah atau palsu! Mungkin sikap itu didorong oleh mentalitas dan kejiwaan tertentu! Atau karena ikut-ikutan terpengaruh oleh seorang yang menjatuhkan vonis “miring” dan menuntunnya menuju kesimpulan zalim seperti itu!
Dan sengsaralah seorang yang menjadikan burung pemakan bangkai sebagai pemandu yang menunjukinya jalan dalam pengembaraan intelektualnya.
Seorang pujangga Arab bersyair:
و من جعل الغراب له دليلا *** يَمرُّ بِه على جِيف الكلابِ
Barang siapa yang menjadikan burung gagak sebagai penunjuk jalannya….
pastilah ia akan menuntunnya melewati bangkai-bangkai anjing.
Para Ulama Tidak Jarang Menvonis Palsu Hadis Keutamaan Imam Ali as. Hanya Berdasar Hawa Nafsu
Satu hal lagi yang mesti kita mengerti dari sikap tidak jujur sebagian muhaddis Ahlusunnah (tentunya jika para ulama mau mengakui si alim itu sebagai anggota Ahlusunnah) adalah mereka menolak sebuah hadis tertentu tentang keutamaan Imam Ali as. atau menerima keshahihan sebuah hadis tertentu tentang keutamaan palsu musuh-musuh Imam Ali as. hanya bermodalkan selera pridabi, bisikan hati keruh dan hawa nafsu. Banyak contoh dalam kasus ini, akan tetapi kali ini saya hanya akan menyebutkan satu contoh saja darinya.
Syeikh al Ghimmari berkata, “Adz Dzahabi menyebutkan sebuah hadis tentang keutamaan Ali dan Abbas dengan sanad semua periwayatnya tsiqât/terpercaya, kemudian setelahnya ia berkata, ‘Hadis ini adalah palsu dalam kritikanku. Dan aku tidak tau apa penyakitnya? Sufyân ibn Bisyr seorang yangt tsiqah, aku tidak melihatnya ada cacat padanya. Jadi hendaknya ia dicacat karenanya (meriwayatkan hadis ini).”[1]
Adapun ketika ada sebuah hadis tentang keutamaan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan “Pimpinan Para Penganjur Ke Dalam Api Neraka” yang diriwayakan ole ath Thabarani dari jalur Abdullah ibn Busr, “Sesungguhnya Rasulullah saw. meminta izin kepada Abu Bakar dan Umar tentang sebuah urusan, beliau bersabda, ‘Beri pendapat untukku!’ Maka keduanya berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahi.’ Nabi mengulang kembali ‘Beri pendapat untukku!’ dan keduanya pun mengulang jawaban mereka. Nabi saw. bersabda, ‘Panggilkan Mu’awiyah untukku!’ … setelah Mu’awiyah datang dan berdiri di hadapan Nabi saw., beliau bersabda, ‘Sertakan ia dalam urusan kalian, seba sesungghya ia adalaah seorang yang kuat lagi jujur!.’”
Al Hatsami berkata, “Dan Syeikhnya ath Thabarani tidak seorang pun yang mentsiqahkannya selain adz Dzahabi. Ia tidak dicacat dengan jelas (dijabarkan alasan pencacatannya), namun kendati demikian hadis ini adalah munkar. Allah A‘lam.”[2]
Coba Anda perhatikan, bagaimana adz Dzahabi mentsiqahkan seorang perawi yang ia sendiri tidak pernah hidup sezaman dengannya… tidak pernah bergaul dan mengetahui langsung jati dirinya?! Dan antara dia dan periwayat yang ia tsiqahkan telah dipisahlan oleh empat abad… tidak seorang pun yang pernah mentsiqahkannya! Bukankah ini “aneh bin ngawur”! Mungkinkah seorang yang punya rasa wara’ dan kehati-hatian dalam agama mengambil sikap “gila-gilaan” seperti ini?!
Tentu bagi seorang adz Dzahabi sikap seperti itu sah-sah saja selama ia mengagungkan Mu’awiyah sahabat kesayangannya yang tetunya ia sangat berharap dikumpulkan kelak bersama di tempatnya yang paling layak. Amin Allahumma Amin.
Ini hanyalah sebuah contoh, namun sungguh ia penuh pelajaran dan ibrah!
Hadis “Memandang Ali adalah ibadah” Menyakitkan Hati Kaum Munafik
Hadis “Memandang Ali adalah ibadah” termasuk hadis shahih. Ia sangat menggusarkan jiwa dan pikiran kaum nawâshib yang munafik, karenanya mereka bergegas membohongkan dan menvonis palsu. Lalu datanglah sebagian orang yang berpetunjuk dengan “gagak-gagak intelekual” tersebut itu serta berperan aktif menabur benih-benih keraguan tanpa dasar! Padahal tidak jarang di antara pakar dan korenkor hadis telah menshahihkannya.
Dengan gegabahnya, sekedar meneliti satu dua jalurnya saja Sang Muhaddis Pujaan kaum Wahhabiyah telah berani menvonis palsu hadis tersebut! Sebuah sikap yang sangat tidak ilmiah!
Dan untuk menghemat waktu pembaca saya akan sebutkan jalur-jalur periwayatan hadis tersebut.
Hadis “Memandang Ali adalah Ibadah” Te;ah di Riwayatkan oleh sebelas sahabat Nabi saw.
Pertama yang pperlu kita ketahui tentang hadis tersebut ialah bahwa sebelas sahabat telah terlibat dalam periwayatan hadis tersebut. Dan hadis riwayat-riwayat mereka telah diriwayatkan para muhaddis Ahlusunnah dari berbagai jalur.
Ibnu Asâkir dalam Tarikh Damasyqus-nya telah mengeluarkan hadis tersebut dari sebelas sahabat melalui lebih dari 2o (dua puluh) jalur.
Nama-nama Sahabat Yang Meriwayakan Hadis Tersebut
1. Abu Bakar. Hadis dengan nomer. 894, 895 dan 911.
2. Aisyah istri Nabi saw. Hadis dengan nomer. 894, 895 dan 911.
3. Ibnu Abbas. Hadis dengan nomer. 896.
4. Ibnu Mas’ud. Hadis dengan nomer.897,898,899,900 dan 901.
5. Mu’adz ibn Jabal. Hadis dengan nomer. 902.
6. Abu Hurairah. Hadis dengan nomer. 902 dan 903.
7. ‘Imrân ibn Hushain. Hadis dengan nomer.904, 905, 906 dan 907.
8. Abu Sa’id al Khudri. Hadis dengan nomer. 907.
9. Jabir ibn Abdillah. Hadis dengan nomer.908.
10. Anas ibn Malik. Hadis dengan nomer. 909.
11. Tsawban. Hadis dengan nomer. 910.
Al Hakim dan adz Dzahabi Menshahihkan Hadis Tersebut!
Al Hakim an Nîsâburi telah meriwayatkan hadis tersebut dengan bebarapa jalur dan ia shahihkan. Adz Dzahabi (kendati ia sering bersikap tidak obyektif dan sinis terhadap hadis-hadis keutamaan Ali dan Ahlulbait as.) juga menshahihkan salah satu jalurnya.
Jalur Pertama Al Hakim:
Al Hakim meriwayatkan hadis dari hadis Abu Sa’id dari ‘Imrân ibn Hushain, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:

النظر إلى عَلِيًّ عبادةٌ.

“Memandang Ali adalah ibadah.”

Al Hakim berkata, “Ini adalah hadis shahih sanadnya, dan hadis-hadis pendukungnya dari sahabat Ibnu Mas’ud adalah shahih.

Adz Dzahabi tidak setuju dengan penshahihan al Hakim, ia berkata, “Hadis itu palsu, dan hadis pendukungnya (dari Ibnu Mas’ud) adalah shahih.[3]
Jalur Kedua:
Al Hakim meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:

النظر إلى وجهِ عَلِيًّ عبادةٌ.

“Memandang wajah Ali adalah ibadah.”
Hadis ini didukung oleh riwayat ‘Amr ibn Murrah dari Ibrahim al Ju’fi…. :

النظر إلى وجهِ عَلِيًّ عبادةٌ.

“Memandang wajah Ali adalah ibadah.”
Terhadap jalur hadis pendukung dari ‘Amr ibn Murrah di atas adz Dzahabi diam tidak mencacatnya. Dan jalur ini yang kelihatannya yang ia maksud dengan kementarnya pada hadis jalur pertama.[4]
As Suyuthi Menolak Vonis Ibnu al Jauzi
Di bawah ini saya akan cuplikkan beberapa bantahan as Suyuthi atas vonis-vonis yang dilakukan oleh Ibnu al Jauzi dalam kitab al Maudhû’atnya yang memang dipermasalahkan metode yang ditempuhnya dalam menentukan status hadis!
o Hadis Ibnu Mas’ud
Ketika menjelaskan cacat pada hadis jalur Abu Bakar, Ibnu al Jauzi mengatakan bahwa hadis itu palsu dan pangkal penyakit/cacat padaanya adalah disebabkan adanya perawi bernama Qadhi Muhammad ibn Abdillah Al Ju’fi atau gurunya Husain ibn Ahmad ibn Mahzum. Dan pada jalur kedua disebabkan perawi bernama Hasan ibn al ‘Adwi si pembohong. Menyaksikan vonis di atas yang disebutkan Ibnu al Jauzi, Jalaluddin as Suyuthi mekoreksinya. Ia berkata, “Aku berkata, hadis ini punya jalur lain dari Mu’ammal, ia berkata, Ibnu Najjâr dalam kitab Tarikh-nya menulis kepada Abu Zar’ah; Ubaidullah ibn Abu Bakar al Fatwâi…. (kemudian ia menyebutkan mata rantai periwayat dalam jalur tersebut, setelahnya ia berkata):
“Maka dengan demikian selamatlah al Ju’fi dan Syeikh/gurunya dari tuduhan pemalsuan.”[5]
Komentar pembelaan Jalaluddin as Suyuthi ini adalah bantahan atas vonis Ibnu Hibbân dan Ibnu al Jauzi yang mana kitab al Lâali al Mashnû’ah karya as Suyuthi adalah ia tulis untuk mengkritik kesalahan-kesalahn Ibnu al Jauzi.
o Hadis Tsaubân:
Ketika Ibnu al Jauzi menvonis palsu hadis tersebut dari jalur Yahya ibn Salamah ibn Kuhail dari ayahnya dari Tsaubân dengan alasan bahwa Yahya menyendiri dalam meriwayatkannya dan ia matruk (parawi yang ditinggalkan para ulama)![6] Jalaluddin as Suyuthi membantahnay dengan mengatakan, “Aku berkata, ‘Yahya adalah perawi andalan at Turmudzi. Dalam kitan al Mîzân dikatakan ia telah dikautkan (dinilai kuat) oleh al Hakim seorang…. “[7]
Jadi Yahya adalah periwayat yang qawiy dalam penilaian al Hakim.
o Hadis ‘Imrân ibn Hushain
Ketika Ibnu al Jauzi menvonis palsu hadis tersebut dari jalur: Ahmad ibn Ishaq ibn Minjab, ia berkata, Muhammad ibn Yunus ibn Musa (al Kadîmi)…. dari Abu Sa’id al Khudir dari ‘Imrân ibn Husain, secara marfûan (dari Nabi saw.):

النظر إلى عَلِيًّ عبادةٌ.

“Memandang Ali adalah ibadah.”

Ibnu al Jauzi berkata, “Adapun hadis ‘Imrân maka di dalamnya terdapat Muhammad ibn Yunus ibn Musa al Kadîmi. Mereka (para ulama) telah membohongkannya (menuduhnya berbohong). Dan juga dari jalur Khalid ibn Thalîq. Mereka (para ulama) telah mendha’ifkannya. Dan jalur di dalamnya terdapat banyak perawi yang majil (tidak dikenal).”[8]
Di sini jelas sekali sikap Imam as Suyuthi dalam menolak vonis Ibnu al Jauzi dengan mengedepankan penshahihan al hakim dan riwayat ath Thabarani.
Kesimpulan:
Jadi dari pemaparan sederhana di atas dapat diketahui bahwa hadis tersebut, paling tidak melalui beberapa jalurnya adalah shahih. Ia telah dishahihkan oleh al Hakim dan adz Dzahabi.
Vonis semena-mena Ibnu al Jauzi terhadap beberapa jalurnya telah dibantah oleh Jalaluddin as Suythi.
Maka dengan demikian memutlakan vonis palsu, maudhû’ atas hadis “Memandang wajah Ali adalah ibadah” adalah tidak berdasar!
Dan saya berharap Syeikh Nashiruddin al Albâni dan atau ustadz-ustadz Wahhabi mampu membuktikan kepalsuan setiap jaklur periwayatan hadis tersebut sebelum menvonisnya!
Wallahu A’lam.
Kedudukan Hadits “Memandang Ali adalah Ibadah”

Ditulis pada Nopember 5, 2008 oleh haulasyiah

http://haulasyiah.wordpress.com/2008/11/05/kedudukan-hadits-memandang-ali-adalah-ibadah/

“النظر إلى علي بن أبي طالب عبادة “

“…memandang Ali bin Abi Thalib adalah ibadah.”

Berkata Syaikh Al Albani dalam kitabnya As Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah 1/531:
Palsu. Dikeluarkan Ibnul Furrati melalui jalur Muhammad bin Zakariya bin Dinar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Al ‘Abbas bin Bukkar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Abbad bin Katsir dari Abu Zubair dari Zabir secara marfu’.

Menaggapi vonis gegabah Ibnu al Jauzi di atas, as Suyuthi berkata, “Saya berkata, ‘Hadis ini punya jalur lain di dalamnya tidak terdapat al Kadîmi. dalam al Mustadrak-nya, al Hakmi berkata, “Da’laj ibn Ahmad menyampaikan hadis kepada kami…. Hadi ini shahih sanadnya. Adapun (hadis dari) jalur Khalid ibn Thalîq telah diriwayatkan telah diriwayatkan ole hath Thabarani…. .”[9]

Suyuthi menyebutkan dalam “Al Laai 1/346” satu riwayat penguat dan ia diam atasnya (tidak berkomentar). (akan tetapi) riwayat penguat itu palsu juga, karena Muhammad bin Zakariya adalah Al Ghullabi dikenal sebagai pemalsu hadits.
Potongan hadits terkahir (lafazh diatas) disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Al Maudu’at” dari riwayat beberapa orang shahabat, dan semuanya (yakni sanadnya) berpenyakit.

Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya “Al Laai 1/342-346” mutaba’at dan syawahid (riwayat-riwayat penguat) yang banyak sekali, oleh karena itu ia cantumkan dalam kitabnya “Al Jami’ush Shaghir”, dan Adz Dzahabi dalam kitabnya “Talkhis Al Mustadrak 3/141” menshahihkan salah satu jalurnya, tapi tidak benar sebagaimana yang akan aku jelaskan -insya Allah- pada no.4702.

Hadits ini memiliki riwayat-riwayat penguat yang banyak akan tetapi semuanya lemah dan palsu sehingga tidak bisa merubah kedudukannya.

DIarsipkan di bawah: hadits-dhaif

______________

[1] Fathu al Malik al ‘Aliy:68.

[2] Majma’ az Zawâid,9/356.

[3] Mustadrak,3/141. Dar al Fikr.

[4] Ibid.142.

[5] Al Maudhû’at; Ibnu al Jauzi,1/271 dan al Laâli al Mashnû’ah,1/342-343.

[6] Al Maudhû’at,1/272

[7] Al Laâli,1/345.

[8] Al Maudhû’at,1/272.

[9]al Lâali al Mashnû’ah,1/345.

Label:

Metode Qiyas Dalam Istinbath Hukum

Metode Qiyas Dalam Istinbath Hukum

Meunurut ibnu hazm

(pendekatan historis)



A. Pendahuluan
Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam[1] tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya[2]. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjsutifikasi pluralotas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “langage games”[3] yang berbeda.

Islam di tengah – tengah kemajuan segala bidang sebagai hasil dari cipta, rasa serta karya dari manusia sekarang ini di tuntut akan eksistensinya di dalam memenuhi perkembangan pengetahuan dan teknologi. Sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi dan bahkan politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam. Hukum Islam bukanlah unifikasi yang baku yang sudah tidak bisa di interpretasikan, melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan, memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi dari posisi fleksibilitasnya (flexible – position), selama demikian ini tidak berorientasi mengorbankan keluhuran hukum Islam[4]. Oleh karena itu interpretasi terhadap perkembangan iptek serta problema umat dalam realitas sosial kemasyarakatan dalam perspektif hukum islam merupakan keperluan yang tidak dapat ditwar – tawar lagi.

Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.

Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur'an , b). al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.

Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya[5], serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah).

Permasalahan qiyas dalam eksistensinya sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam lapangan ilmu hukum menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan diantara para ulama. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Daud al-Dzahiri tidak mau mengakui qiyas apalagi menerima atau menggunakannya. Sedang di kalangan ulama – ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum syari’at[6].

Al’alamah Ibn Hazm Abu Muhammad Ali bin Said bin Hazm bin Gholid bin Khalaf bin said bin Sufyan bin Yazid (384 – 456 H / 994 – 1064) yang biasa dipanggil dengan Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, tidak mungkin ada masalah yang tidak ada jawabannya di dalam nash. Al-Qur'an menegaskan :”Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikitpun” (QS. Al-An’am (6) : 38), “Pada hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS. Al-Maidah (5) : 3), “kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjalankan segala sesuatu “ (QS. Al-Nahl (16) : 89)[7].

Dari elaborasi diatas ternyata eksistensi qiyas masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang qiyas dalam perspektif historis metodollogis istinbath hukum Islam.



B. Biografi Ibn Hazm
Nama lengkapnya adalah Ali ibn said Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shaleh Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn Sufyan Ibn Yazid[8]. Kalangan penulis kontemporer memakai nama singkatnya yang populer Ibn Hazm, dan terkadang di hubungkan dengan panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi dengan menisbatkannya kepada tempat kelahirannya, Cordova dan andalus, sebagaimana sering dikaitkan dengan sebutan al-Dhahiri, sehubungan dengan aliran fiqih dan pola pikir dhahiri yang dianutnya. Sedangkan Ibn Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Abu Muhammad sebagaimana di temukan dalam karya – karya tulisnya.

Ibn Hazm lahir di Andalusia pada hari yang terakhir dari bulan Ramadhan th. 384 H, di waktu dinihari sesudah terbit fajar, sebelum terbit matahari[9]. Ia termasuk keturunan Arab suku Quraisy. Ayahnya Ahmad Ibn Da’id, berpendidikan cukup tinggi, sehingga dia diangkat menjadi pejabat di lingkungan kerajaan al-Manshur dan kemudian menjadi wazir al-manshur pada tahun 381 H / 991 M. dia menjabat wazir sampai di masa pemerintahan al-Muzaffar dan meninggal pada tahun 402 H.

Pendidikan kanak – kanak Ibn Hazm telah menanamkan kecintaannya yang kuat meminati ilmu dan belajar lebih banyak. Setelah usia remaja ia selalau diajak ayahnya menghadiri majelis – majelis temu ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh al-manshur yang dihadiri oleh para ahli sya’ir dan ilmuwan. Disamping itu Ibn Hazm juga berada di bawah bimbingan seorang alim dan wara', ’ernama Ali al-Husein Ibn Ali al-Fasy[10].

Semenjak usia 15 tahun ia mulai belajar diluar lingkungan istana, emngikuti klub – klub studi di samping berguna secara tersendiri dalam bidang tertentu. Gurunya yang pertama adalah Ahmad Ibn Jazur, mulai belajar padanya pada tahun terakhir abad



C. Qiyas : Perspektif Ulama Fiqih


1. Pengertian Qiyas

Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya ………………. yang berarti “saya mengukur baju dengan hasta”[11]

Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.

Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah :



“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

Mayoritas ulama Syafi’iyyah[12] mendefinisikan qiyas dengan :





“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”

DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan [13] :



“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.

Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya[14]. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.

Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.

Adapun rukun qiyas itu ada 4 :

• Ashl

• Far’u

• Illat

• Hukum ashl



2. Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’[15].

Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :

1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.

2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.

Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.

Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :

• Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1



“Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :



“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.

Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas dilarang untuk diamalkan.

Alasan – alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.

Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.

Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :

Surat al-Hasyr, 59 : 2



“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.

Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya

Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :

• Surat al-Baqarah 2 : 222 :

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.

• Surat al-Maidah 5 : 91 :

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).

• Surat al-Maidah 5:6

.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “



Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :











Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :

“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :





“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H>R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)

Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.







--------------------------------------------------------------------------------

[1] Syari’ah merupakan dimensi eksoterik Islam, sedangkan dimensi esoterisnya diisi oleh tasawuf. Sayyes Fussein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London : Unwin Paperbacks, 1979), hlm. 94.

[2] M. Atha Mudzhar, Sosial History Approach to Islamic Law, Al-jami’ah (no. 61, th. 1998), hlm. 78. Lihat juga Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad : islamic research Institute, 1988), hlm. 24 – 25.

[3] Istilah “langage games” pertama kali digunakan Ludwig Wittggenstein (1889 M – 1951 M) dalam bukunya “Philosophical Investigation” untuk menunjukkan bahwa bahasa mempunyai beberapa macam fungsi sesuai konteks (meaning is context). Language games ini mempunyai aturan sendiri sesuai dengan konteksnya sehingga kata yang sama bila digunakan dalam language games yang berbeda pasti mempunyai arti yang berbeda. Budhi Munawar rachman, Ilmu Hudluri : “Mengelak” dari Mistik ? dalam Ulumul Qur’an (no. 1, vol. Vi th. 1995), hlm. 62. Lihat juga Rizal Muntasyir, Filsafat Analitik , Sejarah, Perkembangan dan Peranan para Tokohnya, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 83 – 86. Teori language games ini juga berlaku bagi aneka bentuk kehidupan (form of life), termasuk kehidupan umat Islam dalam mempraktekkan Syari’ah.

[4] Said Agil Husein al-Munawar, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serta Rekayasa Teknik Genetika Dalam Perspektif Hukum Islam, tarjikh, edisi ke I, Desember 1996, hlm. 54 – 56.

[5] Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Kuwait : An-Nashie, 1977, cet. 2, hlm. 52)

[6] Subhi mahmasani, Filsafat Hukum Dalam Islam (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1981), hlm. 127

[7] Ibn Hazm, Al-Muhalla, (Beirut : Maktabah at-Tijadi, t.th.), hlm. 56

[8] Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’, (Cairo : Dar al-Ma’mun, t.th.), hlm. 235 – 236.

[9] Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok – Pokok Pegangan Imam Madzhab (semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545.

[10] Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat wa al-Ullaf, (Cairo, Dar al-Ma’arif, 1977), hlm. 165 – 166.

[11] Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, hlm. 173

[12] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm al-Ushul, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hlm. 54

[13] Wahbah al-Zuhaili,

[14] hlm. 601

[15] Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974), hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1978), hlm. 234
http://66.102.7.104/search?q=cache:rcFkZoq6cfAJ:nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm+qiyas+istihsan+dalam+&hl=id&ie=UTF-8

Label: ,

Ibnu Abdil Wahhab: Syi’ah Kafir karena menolak khilafah Abu bakar!

Ibnu Abdil Wahhab: Syi’ah Kafir karena menolak khilafah Abu bakar!
Ditulis pada Nopember 25, 2008 oleh Ibnu Jakfari
Ibnu Abdil Wahhab: Syi’ah Kafir karena menolak khilafah Abu bakar!

Setelah mengklaim bahwa Imam Ali as. tidak pernah memprotes pembaiatan atas Abu Bakar dan setelah mengatakan bahwa hadis Ghadir sama sekali tidak menujukkan hak kewailan Ali, sebab jika demikian pastilah Ali mengklaimnya… dan setelah mengatakan bahwa jika Ali meyakininya namun ia membiarkan haknya dirampas maka itu artinya kaum Syi’ah menuduh Ali sebagai pengecut, bahkan berkhianat … Setelah itu semua, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menuduh kaum Syi’ah telah menganggap para sahabat yang telah membaiat Abu Bakar sebagai orang-oarng fasiq, sementara itu yang membaiat Abu Bakar adalah para sahabat termasuk Ali dan Ahlulbait as., dan mereka itu (para sahabat) adalah sebaik-baik generasi, khaira ummatin yang dipersembahkan untuk umat manusia…. Dan dari itu semua ia menyimpulkan bahwa Syi’ah telah kafir, sebab mereka meyakini sesuatu yang menyalahi Al Qur’an dan hadis-hadis shahih tentang kekhalifahan Abu Bakar serta ijmâ’ para sahabat! Kemudian ia menyebutkan berbagai hadis yang dalam hematnya merupakan bukti nyata kekhalifahan Abu Bakar.

Demikianlah Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membangun pandangannya.

Perhatikan apa yang ditulis Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam kaitan ini:

ومنها إنكارهم صحة خلافة الصدّيق رضي الله عنه، وإنكارها يستلزم تفسيق من بايعه واعتقد خلافته حقاً ، وقد بايعه الصحابة رضي الله عنهم حتى أهل البيت كعلي رضي الله عنه، وقد اعتقدها حقاً جمهور الأمة…

“Dan di antara kesesatan Syi’ah adalah mereka pengingkaran mereka atas kekhalifahan ash Shiddiq ra., dan pengingkaran mereka itu meniscayayakan menuduh fasiq mereka yang membaiatnya dan meyakini keabsahan khilafahnya. Dan para sahabat ra. telah membaiatnya, bahkan Ahlulbait seperti Ali ra. telah membaiatnya pula dan jumhur umat telah meyakini kebenarannya…..”



Kemudian ia mulai berhujjah bahwa menuduh para sahabat telah fasiq itu meyalahi ayat yang menegaskan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi! Lalu bagaimana mereka itu dituduh telah merampas posisi paling agung dari Ahlulbait as. Hal demikian jelas-jelas meyalahi Kitab Allah. Kemudian ia menvonis dengan kata-katanya:

ومن إعتقد ما يخالف كتاب الله فقد كفر

“Dan barang siapa meyakini sesuatu yang menyalahi Kitab Allah maka ia telah kafir!”

Ibnu Jakfari berkata:

Pertama-tama perlu disadari bahwa menggunakan bahasa provokatif dalam menelaah masalah-masalah khilafiyah yang telah menjadi ajang perselisihan di antara ulama Islam tidak akan membawa manfa’at, sebab watak permasalahan tersebut tidak membutuhkan bahasa-bahasa seperti itu! Akan tetapi ia perlu dikaji dengan pikiran jernih dan dengan mengedepankan bukti-bukti otentik serta dalil-dalil yang memenuhi standar ilmiah.

Masalah Khilafah Adalah Bagian Dari Furû’uddîn

Sesuatu yang penting dihadirkan dalam setiap diskusi-diskusi seputar masalah Khilafah ialah bahwa dalam pandangan para teoloq Ahlusunnah telah disepakati bahwa masalah Khilafah adalah termasuk bagain Furû’uddin, ia bukan bagian Ushûluddîn yang harus diyakini oleh setiap Muslim!

Jadi, semestinya tidak perlu ada hiruk-pikuk di seputar masalah ini, apakah kelompok A atau B meyakini keabsahan kekhalifahan Abu Bakar atau kekhalifahan Yazid atau kekhalifahan Umar ibn Abdul Aziz atau kekhalifahan Harun ar Rasyîd atau kekhalifahan Sultan Hamid, dll atau tidak meyakininya!

Masalah Khilafah sama sekali bukan masalah serius dan urgen dalam hemat para ulama Ahlusunnah, sehingga harus dikategorikan masalah Ushûddîn/sendi-sendi agama yang pokok. Lalu mengapa dalam praktiknya mereka mempolitisir masalah ini sedemikian rupa sehingga dijadikan senjata pengkafiran?!

Bagi Anda yang sedikit gemar menelaah buku-buku Teoloqi Sunni pasti mengenal dengan baik sikap para ulama Ahlusunnah dalam masalah ini.

Di bawah ini saya bantu Anda untuk menulusurinya.

Al Ghazali berkata, “Ketahuilah, bahwa meneliti masalah Imamah bukanlah hal penting dan bukan permasalahan aqliah, ia adalah masalah fiqhiyah…”.[1]

Al Amidi berkata, “Ketahuilah bahwa persoalan imamah bukanlah termasuk Ushûluddîn, dan bukan pula perkara yang keharusan di mana seorang mukallaf tidak dibenarkan berpaling darinya dan tidak mengerti tentangnya… .“[2]

At Taftazâni berkata, “Imamah bukan termasuk Ushûluddîn dan masalah akidah, berbeda dengan Syi’ah. Akan tetapi ia menurut kita (Ahlusunnah) termasuk furû’ yang terkait dengan tindakan para mukallaf, sebab pengangkatan imamah menurut kami (Ahlusunnah) wajib atas umat berdasarkan dalil nagli… .”[3]

Ibnu Ruzbahân mengatakan dalam bantahannya terhadap Allamah al Hilli ra., ”Ketahuilah bahwa Imamah menurut kelompok al Asy’ariyah bukan termasuk Ushuludiyanât dan dasar akidah, akan tetapi ia menurut mereka adalah termasuk furû’ yang berkaitan dengan tindakan kaum mukallaf.”[4]

Jadi di sini Anda berhak terheran-heran dari sikap sebagian kalangan yang menjadikan keyakinan akan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai penentu keimanan dan keislaman seorang atau sebuah komunitas! Hal itu bisa jadi dipicu oleh kejahilan mereka akan prinsip-prinsip dasar Mazhab Ahlusunnah sendiri. Atau jangan-jangan karena ada pesan sponsor!

Selain itu, data-data sejarah telah cukup membuktikan bahwa di antara para sahabat Nabi saw. tidak sedikit yang menentang kekahilfahan Abu Bakar dan tidak mengakui hasil pembaiatan yang berlangsung di pendopo, Saqifah bani Sâ’idah itu!

Seperti telah Anda baca bersama bagaimana Imam Ali as. menolak memberikan baiat dan mengakui hasil pembaiatan atas Abu Bakar! Demikian juga, dengan keluarga besar bani Hasyim dan para pengikut setia Imam Ali as. selama enam bulan[5], kendati pada akhirnya beliau berdamai dan memberikan baiat untuk Abu Bakar.

Akan tetapi sejarah mencatat bahwa di antara para sahabat Nabi saw. ada yang hingga wafat menjemputnya tetap bersikeras menolak untuk mengakui kekhalifahan Abu Bakar, seperti Sa’ad ibn Ubadah –pemimpin suku Khazraj-, seperti diakui oleh Ibnu Taimiyyah –panutan utama kaum Wahhabi- dalam Minhâj as Sunnah-nya[6]dan putra-putranya, dan putri tercinta Rasulullah saw.; sayyidatuna Fatimah az Zahrâ’ as….

Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa putri tercinta Rasulullah saw. telah kafir dikarenakan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar?! Lalu apakah Sa’ad ibn Ubadah divonis kafir kerena menentang kekhalifahan Abu Bakar dan Umar?!

Sepertinya kita perlu bersikap arif dan berhati-hati dalam melontarkan vonis-vonis berbahaya seperti itu!

Tidak Ada Ijmâ’ Dalam Pengangkatan Abu Bakar!

Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb berusaha mengatakan –walaupun harus mengabaikan data-data akurat sejarah- bahwa pembaiatan atas Abu Bakar telah meraih suara bulat dan ijmâ’ dari para sahabat!

Akan tetapi riwayat-riwayat para muhaddis Ahlusunnah, khususnya Bukhari dan Muslim telah membohongkan anggapan tersebut. Sebab terbukti bahwa Imam Ali as. dan banyak sabahat lainnya yang menentangnya dan tidak sudi memberikan baiat mereka untuk Abu Bakar!

Memang tidak sedikit mereka yang berusaha mengangkat ijmâ’sebagai bukti keabsahan kekhalifaha Abu Bakar, akan tetapi ijmâ’ fiktif tersebut tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya. Seperti sudah dan akan saya buktikan pada lembaran-lembaran akan datang insyaallah.

Ketika menegakkan bukti keabsahan Khilafah Abu Bakar, al Qusyji mewakili pandangan Ahlusunnah mengatakan demikian, “Al Maqshad Keempat tentang Imam (Khalifah) yang haq sepeninggal Rasulullah saw.. menurut kami (Ahlusunnah) adalah Abu Bakar, sedangkan menurut Syi’ah adalah Ali ra.

Dalil kami adalah dua:

Pertama: Cara penunjukan seorang Imam (Khalifah) bisa dengan nash (penunjuan langsung) bisa dengan ijmâ’. Adapun nash sama sekali tidak ada,[7] seperti akan dijelaskan nanti, sedangankan ijmâ’ tidak terjadi untuk selain Abu Bakar secara aklamasi.

Kedua: Ijmâ’ terjadi atas kebenaran salah satu dari tiga calon, Abu Bakar, Ali atau Abbas, kemudian mereka berdua tidak menentang Abu Bakar, andai ia tidak berada di atas kebenaran pastilah keduanya menentangnya… “[8]

Akan tetapi klaim terjadinya Ijmâ’ sama sekali tidak mampu mereka buktikan, oleh karena itu mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ijmâ’atas Khilafah Abu Bakar tidak berarti seluruh sahabat bersepakat atasnya, akan tetapi yang dimaksud dengannya ialah bahwa Khilafah Abu Bakar sah dengan pembaiatan segelintir rekan-rekan Abu Bakar sendiri, bahkan ada yang mengatakan dengan hanya baiat yang diberikan Umar seorang!

Dari sini dapat dimengerti mengapa para Teoloq Ahlusunnah tidak mensyaratkan ijmâ’ dalam keabsahan kekhalifahan seorang. Dalam pembahasan, maqshad ketiga, Qadhi al Îji mengatakan, “Al Maqshad ketiga, tentang sistem yang dengannya kekhalifahan sah. Ia dapat sah dengan nash (penunjukan) oleh Rasulullah saw. atau Khalifah sebelumnya berdasarkan ijmâ’, dan juga dengan baiat oleh Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi, berbeda dengan pendapat Syi’ah…

Maka jika telah terbukti Khilafah dapat ditegakkan dengan pemilihan dan baiat maka ketahuilah bahwa pemilihan dan baiat itu tidak membutuhkan ijmâ’/kesepakatan seluruh mereka, sebab tidak ada dalil yang menunjukan akan hal itu, baik dalil aqli maupun naqli. Bahkan para sahabat mencukupkan dengan baiat seorang atau dua orang saja dari anggota Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi … seperti penetapan hak kekhalifahan Abu Bakar oleh Umar .“[9]

Jadi, dimanakah dapat kita temukan adanya ijmâ’ yang mereka klaim tersebut?!

Memang aneh anggapan mereka yang mangatakan bahwa urusan pengangkatan seorang Khalifah diserahkan kepada umat, kemudian mereka mempersempit pengertian umat hanya dengan Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi saja (tentunya dengan berbagai kerancuan yang terdapat di dalamnya), kemudian mereka makin menyederhakannya dengan mengatakan bahwa baiat yang diberikan oleh seorang saja dari anggota Ahlul Halli wa Al ‘Aqdi sudah cukup melegalitas kekhalifahan seorang! Seperti yang terjadi pada kasus pengangkatan Abu Bakar oleh Umar seorang!

Lalu bagaimana sekarang mereka mewajibkan atas seluruh umat Islam untuk meyakini kekhalifahan seorang yang tidak pernah ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak juga disepakati oleh umat Islam… semua itu hanya karena ia (sang Khalifah itu) telah sah dengan dasar baiat yang diberikan oleh satu atau dua orang saja! Subhanallah! Renungkan poin ini baik-baik!!

[1] Al Mawaqif :395 .

[2] Ghayah al Maram Fi ‘Ilmi al- Kalam :363.

[3] Syarh al Mawaqif,8\344 .

[4] Ibthâl Nahjil Bathil (Lihat Dalâ’il ash Shidq, 2\ 8) .

[5] Târikh ath Thabari,3/208 dan al Kâmil fi at Târikh,2,331.

[6] Minhâj as Sunnah,4/121.

[7] Penegasan di atas penting untuk selalu diingat!

[8] Al Mawâqif Fi Ilmi al Kalâm; Qadhi ‘Adhududdîn Abdurahman ibn Ahmad al Îji:400. cet. ‘Alamul Kotob, Bairut.

[9]Ibid.

Label:

Wahhabi Menggugat Syi’ah (15)

Wahhabi Menggugat Syi’ah (15)
Ditulis pada Nopember 25, 2008 oleh Ibnu Jakfari

Turunnya ayat Ikmâluddîn (1)

Di antara bukti-bukti yang mempertegas bahwa sabda Nabi saw. untuk Imam Ali as. di Ghadir Khum itu menunjuk pada makna kepemimpinan, imamah, selain turunnya ayat al Balâgh sebelum peristiwa Ghadir tersebut, adalah turunnya ayat al Ikmâl setelahnya.

Setelah Nabi saw. menyampaikan sabdanya yang mengangkat Ali as. sebagai imam dan pemimpin tertinggi umat Islam setelah Rasulullah saw. Maka Allah Allah SWT menurunkan ayat dan menegaskan bahwa sekarang agama telah sempurna dan nikmat Allah pun telah lengkap!

Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5];3)

Turunnya ayat tersebut di atas dalam kaitan penyampaian hadis Ghadir adalah bukti nyata dan kuat bahwa yang dimaksud dengan sabda suci tersebut adalah kepemimpinan Imam Ali as., sebab tidak ada selain imamah dan khilafah yang pantas dijadikan penyempurna agama dan kelengkapan nikmat. Karenanya, imamah adalah sendi penting dalam agama, yang dengannya agama menjadi sempurna dan nikmat menjadi lengkap!

Bukti bahwa ayat tersubut turun dalam kaitan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum telah diriwayatkan dalam beberapa riwayat Ahlusunnah dari Rasulullah saw. melalui beberapa sabahat dan tabi’in, di antaranya Abu Sa’id al Khudir, Abu Hurairah, Jabir ibn Abdillah dan Mujahid.



Para Ulama Ahlusunnah Meriwayatkannya!

Hadis tentang turun ayat al Ikmâl dalam kaitan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum telah diriwayatkan oleh puluhan ulama Ahlusunnah melalui banyak jalur periwayatan. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa nama di antara mereka:

1) Ibnu Jarir ath Thabari (w.310 H)

2) Ad Dâruquthni (w.385 H).

3) Abu Hafs ibn Syâhîn (w.385H).

4) Abu Abdillah al Hâkim an Nîsâbûri (w.405H).

5) Abu Bakar Ibnu Mardawaih (w.410 H).

6) Abu Nu’aim al Ishfahâni (w.430 H).

7) Abu Bakaar Ahmad ibn Hasan al Baihaqi (w.458 H).

8) Abu Bakar al Khathîb al Baghdâdi (w.463 H).

9) Abu al Hasan Ibn Naqûr (w. 470 H)

10) Abu Sa’id as Sijistâni (w.477H).

11) Ibnu Al Maghâzili (w.483H).

12) Abu al Qâsim al Hâkim al Hiskâni.

13) Hasan ibn Ahmad al Haddad al Isfâhâni (w. 515 H)

14) Abu Bakar ibn al Marzûqi (w. 527 H).

15) Abul Hasan ibn Qubais (w. 530 H).

16) Abul Qasim ibn as Samarqandi (w. 536 H).

17) Abu al Fath an Nathanzi (w. 550 H).

1 8) Abu Manshur as Sahr Dâr ibn Syirawaih ad Dailami (w. 558 H).

19) Al Muwaffaq ibn Ahmad al Makki al Khawârizmi (w. 568 H).

20) Ibnu ‘Asâkir ad Dimasyqi (w.571 H).

21) Abu Hâmid Sa’aduddîn ash Shâlihâni.

22) Abu al Mudzaffar Sibtu Ibn Jawzi (w. 654 H).

23) Abdurrazzâq ar Ras’ani (w.661 H).

24) Syaikhul Islam al Hamaini al Juwaini (w. 722 H).

25) Ibnu Katsir ad Dimasyqi (w. 774 H).

26) Jalaluddîn as Suyuthi (w.911 H).

Mereka itulah para ulama Ahlusunnah yang meriwayatkan dalam buku-buku mereka riwayat tentang turunnya atas al Ikmâl terkait dengan pengangkatan Imam Ali as. di Ghadir Khum.

Di bawah ini saya ajak pembaca untuk melihat langsung sebagian riwayat mereka agar menjadi jelas keshahihannya, tidak seperti anggapan sementara orang yang tidak bertanggung jawab!

o Riwayat Abu Nu’aim al Isfahâni:

Dalam kitab Mâ Nazalâ Fi Ali Min al Qur’ân,[1] Abu Nu’aim al Isfahâni meriwayatkan hadis sebagai berikut:

حدّثنا محمّـد بن أحمد بن عليّ بن مخلّد، قال: حدّثنا محمّـد بن عثمان بن أبي شيبة، قال: حدّثني يحيى الحماني، قال: حدّثنا قيس بن الربيع، عن أبي هارون العبدي، عن أبي سعيد الخدري ـ رضي الله عنه ـ: أنّ النبيّ صلّى الله عليه [وآله] وسلّم دعا الناس إلى عليٍّ عليه السلام في غدير خمّ، وأمر بما تحت الشجر من الشوك فقمّ، وذلك يوم الخميس، فدعا عليّـاً، فأخذ بضبعيه فرفعهما حتّى نظر الناس إلى بياض إبطَي رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم، ثمّ لم يتفرّقوا حتّى نزلت هذه الآية: (اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاِسلام ديناً)، فقال رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم: الله أكبر على إكمال الدين وإتمام النعمة، ورضا الربّ برسالتي وبالولاية لعليٍّ من بعدي.

ثمّ قال: من كنت مولاه فعليٌّ مولاه، اللّهمّ والِ من والاه، وعادِ من عاداه، وانصر من نصره، واخذل من خذله.

فقال حسّان بن ثابت: ائذن لي يا رسول الله أن أقول في عليٍّ أبياتاً تسمعهنّ.
فقال: قل على بركة الله.

فقام حسّان فقال: يا معشر مشيخة قريش! أتبعها قولي بشهادة من رسول الله صلّى الله عليه [وآله] وسلّم في الولاية ماضية. ثمّ قال:

يناديهم يـوم الغــدير نبـيـّهم * بــخـمّ وأسمع بالنبي مناديا
يقول فمن مولاكــم ووليّـكم * فقـــالوا ولم يبدوا هناك التعاميا
إلهك مولانـا وأنـت ولـيّـنـا * ولـن تجـدنْ منّا لك اليوم عاصيا
فقال له: قم يا علــيّ فـإنّنـي * رضيتـك من بعـدي إماماً وهاديا

هنـاك دعـا اللّـهـمّ والِ ولـيّه * وكن للذي عادى عليّـاً معاديا.

Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Mukhallad menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata,Yahya al Himmani menyampaikan hadis kepadaku, ia berkata, Qais ibn Rabî’ menyampaikan hadis kepada kami dari Abu Harun al ‘Abdi dari Abu Sa’id al Khudri ra., bahwa Nabi saw. mengajak manusia kepada Ali as. di Ghadir Khum. Beliau memerintah agar duri-duri di bawah beberapa pohon disapu, ketika hari kamis, lalu Nabi memanggil Ali, dan mengangkat kedua lengannya dan mengankat sehingga putih ketiak beliau terlihat oleh orang-orang, kemudain sebelum mereka berpisah turun ayat ini:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat- Ku, dan telah Ku- ridai Islam itu jadi agama bagimu.”

Maka Rasulullah saw. bersabda, “Maka besar Allah atas penyempurnaan agama dan pelengkapan niktat, atas kerelaan Tuhan dengan kerasulanku dan dengan kepemimpinan,wilayah Ali sepeninggalku.”

Kemudian beliau bersabda, “Barang siapa yang Ali maulâ-nya maka Ali juga maulâ-nya. Ya Allah bimbinglah orang yaang menjadikan Ali sebagai pemimpinnya dan musuhi yang memesuhinya. Belalah yang membelanya dan hinakan yang menghinakannya.”

Lalu Hassân ibn Tsâbit berkata memohon, “Wahai Rasulullah izinkan aku menggubah beberapa bait syair tentang Ali yang akan engkau dengar.”

Maka beliau bersabda, “Katakan atas keberkahan dari Allah!”

Maka Hassân bengun dan berkata:

Di Ghadir Khum Nabi memanggil mereka*** duhai alangkan lantangnya seruannya.

Beliau bersabda ”Siapa maulâ dan wali kalian kalian*** maka mereka menjawab dengan tegas…

Tuhanmu adalah maulâ kami dan engkau adalah wali kami*** dan engkau tidak akan mendapatkan kami pada hari yang menentangmu

Maka beliau bersabda: “Hai Ali! Bangunlah, Sesungguhnya aku tela rela engkau menjadi pemimpin/imam dan pemberi petunjuk sepeninggalku”.

Ketika itu Nabi berdoa, “Ya Allah bimbinglah yang menjadikan Ali pemimpinnya*** dan jadilah Engkau musuh atas yang memusuhi Ali.”



Sekilas Tentang Para Perawi dalam Sanad di Atas

Pada jalur periwayat diatas terdapat beberapa nama perawi yang perlu kita kenal lebih jauh, seperti:

o Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Mukhallad yang dikenal dengan nama Ibnu Muharram (w.357 H).

Ia adalah salah seorang murid terdekat Ibnu Jarir ath Thabari.

Ad Dâruquthni berkata:

لا بأس به.

Ia tidak apa-apa.[2]

Demikian juga dengan penilaian Abu Bakar al Burqâni.[3]

Sementara itu adz Dzahabi mensifatinya dengan seorang Imam, Mufti (memberi fatwa) yang panjang umur.[4]

Sebagian orang menilainya kurang baik disebabkan adanya beberapa hadis munkar dalam buku-bukunya, akan tetapi hal itu tidak cukup alasan untuk melemahkannya, sebab mereka tidak menjelaskan hadis-hadis munkar apa yang mereka maksud, bisa jadi yang mereka maksud adalah hadis-hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. seperti hadis yang beliau riwayatkan di atas!

o Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah.

Adapun Muhammad ibn Utsman ibn Abi Syaibah telah lewat dibicarakan sebelumnya.

o Yahya al Himmâni.

Beliau adalah salah seorang perawi yang dipercaya Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, dan termasuk salah seorang guru Imam Abu Hatim, Muthayyin dan para pembesar ulama hadis lainnya. Tidak sedikit di antara ulama yang telah menukil pernyataan pujian untuknya dari Yahya ibn Ma’in. ia berkata:

صدوق ثقة

“Ia (Yahya al Himmâni) adalah jujur dan tsiqah/terpercaya.”[5]

Dan selain Yahya ibnu Ma’in, tidak sedikit ulama dan pakar al jarh wa at ta’dîl yang mentsiqahkannya. Dan mereka yang berusaha mencacatnya hanya terdorong karena rasa dengki dan hasud semata, serta karena sikapnya yang tegas terhadap Mu’awiyah (musuh bebuyutan Imam Ali as.) Yahya pernah berkata:

كان معاوية على غير ملّة الاِسلام.

”Adalah Mu’awiyah itu di atas agama selain Islam..”[6]



o Qais ibnRabî’

Adapun Qais ibn Rabî’ ia adalah perawi yang dipercaya dalam meriwayatkan hadis dalam Sunan Abu Daud, at Turmudzi dan Ibnu Mâjah.

Al Hâfidz Ibnu Hajar berkata:

صدوق، تغيّر لمّا كبر… .

Ia shadûq, ia berubah hafalannya ketika usia tuanya… .[7]

o Abu Harun al ‘Abdi

Adapun Abu Harun yang nama lengkapnya ‘Umârah ibn Juwain adalah seorang tabi’in yang sangat terkenal. Ia dipercataya Imam Bukhari dalam kitab Khalq A’mâlil ‘Ibâb, dan juga at Turmudzi dan Ibnu Mâjah. Ia adalah guru ats Tsawri dan Hamâd serta tokoh-tokoh lainnya. Sebagian orang ada yang membincangkannya disebabkan kesyi’ahnya.

Ibnu Abdil Barr berkata:

كان فيه تشـيّع، وأهل البصرة يفرطـون فيمن يتشـيّع بين أظهرهم لاَنّهم عثمانيّون

“Padanya terdapat ketasyayyu’an. Sementara itu penduduk Bashrah sangtat sinis terhadap oran yang bertasyayyu’ di tengah-tengah mereka sebab mereka (penduduk Bashrah) adalah Utsmaniyyuûn (anti Imam Ali as.)”

Setelah menukil kata-kata Ibnu Abdil Barr di atas, Ibnu Hajar berkata:

قلت: كيف لا ينسبونه إلى الكذب، وقد روى ابن عديّ في الكامل عن الحسن بن سفيان، عن عبـد العزيز بن سلام، عن عليّ بن مهران، عن بهز ابن أسد، قال: أتيت إلى أبي هارون العبدي، فقلت: أخرج إليّ ما سمعت من أبي سعيد.
فأخرج لي كتاباً، فإذا فيه: حدّثنا أبو سعيد: إنّ عثمان أُدخل حفرته وإنّه لكافر بالله.

قال: قلت: تقرّ بهذا؟!

قال: هو كما ترى!

قال: فدفعت الكتاب في يده وقمت.

“Saya berkata, Bagaimana mereka tidak menuduhnya sebagai pembohong, sementara Ibnu Adi dalam kitab al Kâmilnya menukil dari Hasan ibn Sufyân dari Abdul Aziz ibn Sallâm dari Ali ibn Mahrân dari Bahz ibn Asad, ia berkata, ‘Aku mendatangi Abu Harun al ‘Abdi, lalu aku berkata kepadanya, “keluarkan kepadaku riwayat yang Anda dengar (nukil) dari Abu Said! Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab (buku catatan), ternyata di dalamnya terdapat, “Abu Said menyampaikan hadis kepada kami, bahwa Utsman di masukkan ke dalam liang kuburnya dalam keadaan kafir krpada Allah.”

Aku berkata kepadanya, “Apakah engkau mengakui (kebenaran)nya?

Ia berkata, “ia (riwayat itu) seperti yang engkau saksikan!”

Lalu aku serahkan kitab itu dan aku pergi.”[8]

Karena itu, dalam Taqrîbnya, Ibnu Hajar berkata:

متروك، ومنهم من كذّبه، شـيعي.

Ia ditinggalkan, di antara mereka ada yang membohongkannya (menuduhnya berbohong). Ia seorang Syi’ah).[9]

Akan tetapi apabila kita jujur dan obyektif, sulit rasanya menertima vonis Ibnu Hajar di atas, sebab pada kenyataannya Qias bukanlah seorang perawi yang dibuang/matrûk, karena ia telah dipercaya Imam Bukhari sebagai perawi dalam selah sebuah kitab karyanya, sebagaimana ia juga dipercaya menjadi perawi dalam dua di antara enam kitab Shihâh Ahlusunnah. Adapan tuduhan bahwa ia berbohong telah Anda maklumi penyebabnya, yaitu kesyi’ahnya. Semantara kesyi’ahan seorang perawi tidaklah akan mencacat ketsiaqahannya, seperti telah dijelaskan panjang lebar dalam kajian para ulama Ahlusunnah sendiri. Dan sebagai bukti, bahwa ratusan parawi Syi’ah menjadi andalah periwayatan hadis dalam kitab-kitab Shahih Ahlusunnah, termasuk Shahih Bukhari dan Muslim.

(Bersambung)

[1] Sebagaimana dikutip dalam kitab Khashâish al Wahyi al Mubîn:61-62.

[2] Siyar A’lâm,16/61. Dan redaksi pujian seperti di atas adalah redaksi tingkat kedua, sepeti redaksi pujian Shadûq/jujur. (Tadrîb ar Râwi,1/343).

[3] Tarikh Baghdad,1/31 dan Syadzarât adez Dzahab,3/26.

[4] Siyar A’lâm,16/60.

[5] Penetapan status seorang perawi dengan kata-kata Tsiqah adalah pujian tingkat pertama, seperti juga kata-kata mutqin, Tsabtun, Hujjatun, ‘adlun hâfidzun,dan tsâbtun. (Tadrîb ar Râwi,1/342).

[6] Lebih lanjut silahkan baca Tahdzîb at Tahdzîb,11/213-218.

[7] Taqrîb at Tahdzîb,2/128.

[8] Tahdzîb at Tahdzîb,7/361-362.

[9] Taqrîb at tahdzîb,2/49.

Label:

Wahhabi Menggugat Syi’ah (14)

Wahhabi Menggugat Syi’ah (14)
Ditulis pada Nopember 19, 2008 oleh Ibnu Jakfari

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah ( 8)

Sikap Syeikh Agung Wahhabi; Nashiruddin al Albâni Tentang Hadis Ghadir

Diriwayatkannya hadis Ghadir dan hadis tentang sebab turunnya ayat al Balâgh dalam kitab-kitab kalangan Jumhur adalah bukti pemeliharaan Allah SWT akan agama-Nya, sebab pada dasarnya hadis Ghadir adalah bukti kuat penunjukan Imam Ali as. sebagai pemimpin, Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. karenanya sebagian kaum Nawâshib (para pembenci Imam Ali dan Ahlulbait Nabi saw.) merasa sakit hati terhadapnya, dan benar-benar dibuat kebingungan untuk menentukan sikap terhadapnya, yang kemudian mencari-cari cela dan mengada-ngada catat pada hadis tersebut, walau harus menjungkir balikkan etika penelitian dan kaidah-kaidah yang berlaku. Dan seperti biasanya, senjata kaum lemah adalah memuaskan nafsu mereka dengan caci-maki, kata-kata keji dan tuduhan palsu!


Sebelumnya Anda telah menyaksikan bagaimana Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâb- pendiri aliran Wahhabiyyah- mencacat tanpa dasar hadis tersebut!

Kini, Anda saya ajak melihat sikap tokoh andalan kaum Wahhabiyyah dan yang selalu dibanggakan dalam penelitian hadis, ia adalah Syeikh Nâshiruddîn al Albâni. Dalam bukunya Silsilah al Ahâdits ash Shahîhah (yang penuh kesalahan dan kontradiksi seperti buku-bukunya yang lain), al Albâni mengatakan, “Nabi saw. senantiasa dijaga sehingga turun ayat: والله يعصمك من الناس, maka Rasulullah mengeluarkan kepala beliau dari qubah (kemah) dan bersabda kepada para penjaga, ‘Wahai manusia, pergilah kalian, karena Allah telah memeliharaku.’”

Hadis ini diriwayatkan oleh at Turmudzi,2/175, Ibnu Jarir,6/199 dan al Hâkim,2/3 dari jalur al Hârits ibn Ubaid dari Sa’ad al Jariri dari Abdu ibn Syaqiîq dari Aisyah, ia berkata, “…. .”

Dan setelah berpanjang-panjang menyebutkan mana yang benar di antara jalur periwayatan hadis di atas, dan setelah menyebutkan hadis Ibnu Hibbân dalam Shahih-nya:1739 dari Abu Hurairah melalui dua jalur bahwa ayat tersebut turun disebabkan ada seorang Arab Baduwi yang menyerang Nabi saw. di kemahnya di sa’at beliau tertidur, lalu membangunkan dan mengancam akan membunuhnya dengan mengatakan, ‘Hai Muhammad, siapakah yang akan menyelamatkanmu malam ini dariku? Dan Nabi menjawab, ‘Allah’. Maka Allah menurunkan ayat itu dalam peristiwa tersebut … setelah itu semua, ia menuangkan kemarahannya kepada Syi’ah, ia berkata, “Ketahuilah bahwa kaum Syi’ah mengaku –menyalahi hadis-hadis yang telah lewat- bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum tentang Ali ra.. Mereka menyebut beberapa riwayat yang kebanyakannya adalah berstatus mursal (tidak bersambung sanadnya) dan mu’dhal di antaranya adalah hadis riwayat Abu Sa’id al Khudri, dan ia tidak shahih darinya, seperti telah saya tahqîq dalam kitab Silsilah al Ahâdîts adh Dah’îfah:4922 …. dan setelah menuduh ulama Syi’ah sebagain yang gemar berbohong dan menghalalkannya dengan nama taqiyyah, serta menipu, dengan mengutip vinis Ibnu Taimiyyah (musuh bebuyutan Syi’ah yang tidak pernah jujur terhadap mereka), ia melanjutkan, “dan yang lebih jelas kebohongannya darinya (Syarafuddin) adalah Khumaini, ia menegaskan dalam kitabnya Kasyfu al Asrâr:149 bahwa ayat al Ishmah (al Balâgh) turun di Ghadir Khum berkaitan dengan imamah Ali ibn Abi Thalib sesuai dengan pengakuan ulama Ahlusunnah dan kesepakatan Syi’ah. Demikian ia katakan, semoga Allah memperlakukannya dengn yang layak baginya!”

Ibnu Jakfari berkata, “Wahai tuan al Albâni, tinggalkan kebiasaan mencaci, menuduh dan menvonis sembarangan…. sebab ia adalah senjata kaum lemah! Tinggalkan pula mengkalsivikasi manusia menjadi sekte yang jujur dan gemar berbohong… di antara penganut Syi’ah sebagaimana di antara penganut Ahlusunnah pasti beragam! Tetapi kaum Nawâshib yang gemar menolak dan mengkafiri nash-nash keutamaan Ahlulbait as., dan gemar menuduh secara palsu para pecinta mereka perlu ditetapkan atas mereka hukum dan sikap tertentu!

Dan jika Anda mengandalkan Ibnu Taimiyyah ddalam menilai kaum Syi’ah, maka sangat riskan, sebab seorang yang tidak pernah jujur dan obyektif sikapnya terhadap Imam Ali as. dan hadis-hadis keutaman beliau, apa munkin akan obyektif dan jujur terhadap para pecinta beliau?!

Bukankah Anda sendiri telah membantah kekejian sikap Ibnu Taimiyyah ketika menvonis palsu bagian akhir hadis Ghadir yang mutawatir itu, ketika itu Anda membantahnya dengan panjang lebar dan teliti serta mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah dalam sikapnya itu bergesah-gesah sebelum meneliti seluru jalur-jalurnya, seperti yang Anda tegaskan dalam Silsilah al Ahâdîts sh Shahîhah:344.

Ketika Anda menvonis hadis-hadis tentang turunnya ayat al balâgh di Ghadir Khum berkaitan dengan imammah Ali as. sebagai hadis-hadis mursal dan mu’dhal, apakah Anda telah meneliti seluruh-jalur-jalurnya?

Sudahkah Anda telah meneliti jalur hadis-hadis tersebut dalam riwayat ats Tsa’labi, riwayat Abu Nu’aim, riwayat al Wâhidi, riwayat Abu Sa’id as Sijistâni, riwayat al Hiskâni dengan mengecek satu persatu sanadnya, lalu Anda mendapatkannya riwayatriwayat mursalah dan mu’dhalah?!

Atau jangan-jangan Anda juga terjatuh dalam kubangan fanatisme dan ketergesah-gesahan dalam menvonis setiap riwayat yang bertolak belakaang dengan doktrin mazhabnya.

Sayang Anda telah meninggalkan alam baqa’ ini sehingga tidak dapat menanggapi apa yang saya katakan ini, namun paling tidak, harapan saya bahwa para pengagummu dari kalangan kaum Wahhabi dan Salafi dapat membelamu dan mau melakukan penelitian terhadap beberapa saja dari jalur-jalur hadis tersebut.

Di sini saya minta mereka sanggup melakukan penelitian terhadap sanad/jalur riwayat-riwayat hadis tersebut dalam kitab Syawâhid at Tanzîl, karya al Hâkim al Hiskâni –murid imam al Hâkim an Nisâbûri penulis al Mustadrak, pada riwayat dengan nomer:

1) 244 dari Abu Sa’id al Khudri.

2) 245-246,249 dan 250 dari Ibnu Abbas.

3) 247 dari Abdullah ibn Abi Aufâ.

4) 248 dari Muhammad al Baqir ibn Ali ibn Husain.

Dengan catatan gunakan kaidah dan metodologi yang biasa digunakan Syeikh al Albâni, dan jangan mendhaifkan seorang perawi di sini yang ia tsiqahkan ditempat lain hanya karena ia meriwayaatkan hadiss keutamaan Imam Ali as.!!

Dan sebenarnya apa yang telah saya sebutkan sebelumnya di awal pembahasan ini sudah cukup sebagai bukti keshahihan riwayat-riwayat tersebut, andai mereka mau bertaqwa kepada Allah dan bersikap jujur serta meningggalkan fanatisme terkutuk!

(Selesai)

Label:

Wahhabi Menggugat Syi’ah (13)

Wahhabi Menggugat Syi’ah (13)
Ditulis pada Nopember 19, 2008 oleh Ibnu Jakfari

Turunnya Ayat at Tablîgh Adalah Bukti Kuat Hadis Ghadir Bermakna Imamah (7)

Tuduhan Keji Tanpa Malu

Dalam kaitannya dengan ayat al Balâgh, sebagian ulama Ahlusunnah meriwayatkan sebuah pernyataan dari al Anbâri –salah seorang tokoh kenamaan mereka- sebagai berikut: “Adalah Nabi saw. menampakkan sebagian Al Qur’an ketika beliau tinggal di Mekkah, dan merahasiakan sebagian lainnya karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari kejahataan kaum Musyrik yang akan dilamatkan keepada dirinya dan kepada para sahabatnya.”[1]

Pernyataan itu jelas sebuah kepalsuan belaka!!

Akan tetapi yang aneh dari peenyataan tersebut adaalah sikap sebagain ulama Ahlusunnah seperti al Qurthubi dalam Tafsir-nya dan al Qasthallani dalam Irsyâd as Sârî fî Syarah Shahih al Bukhari-nya. Mereka justeru meluapkan kemarahan dan murka serta kutukannya atas kaum Syi’ah yang mereka tuduh meyakini keyakinan tersebut!

Al Qurthubi berkata dalam tafsirnya,6/243:

“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad saw, merahasiakan sesuatu dari wahyu maka ia telah membohongkan Allah –Ta’ala-. Allah berfirman:

يا أيّها الرسول بلّغ ما أُنزل إليك من ربّك وإنْ لم تفعل فما بلّغت رسالته.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.

Semoga Allah menjelakkan wajah-wajah kaum Rafidhah yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. merahasiakan sebagian wahyu yang dibutuhkan manusia.”

Tuduhan yang sama juga dilontarkan oleh al Qasthallani dalam Irsyâd as Sâri,7/106.

Coba Anda perhatikan tuhudan keji yang mereka lontarkan kepada Syi’ah Ali as. mereka menuduhnya bahwa Syi’ah telah menuduh Rasulullah saw. telah merahasiakan materi wahyu yang dibutuhkan umat manusia. Sementara pada kenyataannya keyakinan sesat itu adalaah pendapaat menyimpan yang diyakini oleh tokoh kenamaan Ahlusunnah yaitu al Anbâri, seperti disebutkan al Wahidi dalam tafsir al Wasîth-nya.

Demikianlah, ayat al Balaâgh yang turun sebagai keutamaan Imam Ali as. kini, di tangan mereka ddijadikan senjata untuk memerangi Imam Ali as. dengan memerangi dan menuduh secara keji Syi’ahnya! Dan kejahatan seperti itu bukan kejahatan tunggal yang dilakukan musuh-musuh Imam Ali as.

Setelah menyaksikan keji dan menyimpangnya pendapat al Anbâri yang sangat mencoreng wajah ulama Ahlusunnah, mereka bukan mengkritiknya atau menyalahkannya dan atau mengecamnya. Akan tetepi jusretu berbalik mengecam Syi’ah dengan mengada-ngada kepalsuan atas naama mazhab mereka. Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaih Râji’ûn, Wallahul Must’ân.

Yang menjaddi keyakinan Syi’ah terhadap para imam mereka, utamanya Imam Ali as. adalah bahwa mereka adalah para perawis ilmu kenabian. Seluruh tafsir dan kandungan Al Qur’an ada pada mereka! Semua sunnah Rasulullah saw. telah mereka warisi dengan sempurna!

Tidak ada satu meteri agama pun yang dibutuhkan umat di masa beliau yang belum beliau Rasulullah saw. Sementara hal-hal lain beliau telaah sampaikan kepada para imam suci Ahlulbait as. aagaar mereka tablighkan di masa kepemimpinan mereka masing-masing sesuai dengan kebijakan Allah SWT.

Dan yang sangat menherankan adalah bahwa kalangan Ahlusunnah meyakini kenyakinan serupa tentang Rasulullah saw., di mana Rasulullah saw. dengan sengajaa merahasiakan sebagian materi wahyu yang dibutuhkan umat manusia dari mereka dan hanya mentablighkannya kepada Abu Bakar seorang! Tidak kepada seorang pun selain Abu Bakar!

Coba perhatikan pada kasus hukum waris para nabi as., ternyata dalam keyakinan Ahlusunnah, Nabi saw. hanya menyampaikan hukum itu kepada Abu Bakar seorang! Bahkan kepada keluarganya yang jusretu sangat berkepentingan untuk mengetahui hukum itu sekali pun tidak beliau beritahukan!

Dalam kasus dimana Rasulullah saw. harus dikebumikan, tidak seorang pun diberitahu Rasulullah saw. di mana beliau seharusnya dikebumikan, sehinggga para sahabat berselisih. Hanya kepada Abu Bakar seorang Nabi saw. memberitahukan!

Serta masih banyak contoh lainnya dalam hal ini! Walaupun Anda berhak bertanya-tanya akan kebenaran riwayat-riwayat tentang masalah tersebut.

(Bersambung)

[1] Tafsir al Wasîth,2/208.

Label: